Rabu, 02 Maret 2011

Sekilas tentang Leadership


Kepemimpinan untuk Pengembangan Kesehatan Masyarakat

Menjelang dimulainya dasawarsa kedua di abad milenium, perjalanan bangsa Indonesia mewujudkan kesejahteraan kehidupnya menghadapi berbagai cobaan dan rintangan yang semakin berat, termasuk problematika dalam kesehatan masyarakat. Program-program kesehatan masyarakat harus menghadapi masalah dan tantangan yang semakin besar dan  kompleks. Upaya untuk menurunkan penyakit menular (infectious diseases) misalnya diare, pneumonia, demam berdarah belum sepenuhnya berhasil, merebak pula penyakit dan gangguan kesehatan akibat gaya hidup yang tidak sehat (unhealthy life style), misalnya merokok, penyalahgunaan zat (substance abuse), rendahnya aktivitas fisik, pola makan tidak sehat, perilaku seks yang tidak aman, cedera akibat kecelakaan lalu lintas, dan kekerasan.  Belakangan, beban tersebut diperberat karena munculnya  penyakit baru (new diseases) misalnya avian influenza (flu burung).
Menurut Clark Winslow kesehatan masyarakat adalah ilmu dan seni untuk mencegah penyakit, memperpanjang masa hidup dan meningkatkan derajat kesehatan melalui usaha-usaha pengorganisasian masyarakat dalam: a) perbaikan sanitasi lingkungan, b) pemberantasan penyakit menular, c) pendidikan untuk kebersihan perorangan, d) pengorganisasian pelayanan-pelayanan medis dan perawatan untuk diagnosis dini dan pengobatan, serta e) pengembangan rekayasa sosial untuk menjamin setiap orang terpenuhi kehidupan yang layak dalam memelihara kesehatannya. Sebagai ilmu, kesehatan masyarakat mempunyai perangkat berupa paradigma, teori, metode, dan teknologi yang khas, yang telah terbukti keberhasilannya dalam berkontribusi terhadap upaya meningkatkan derajat kesehatan penduduk. Di sisi lain, mengingat sasaran kesehatan masyarakat  adalah manusia dengan berbagai ciri kepribadian serta keanekaragaman latar belakang budaya yang unik, maka penerapan ilmu kesehatan masyarakat memerlukan kreativitas seni, berupa apresiasi terhadap keragaman individual, kelompok dan masyarakat. Mengingat bahwa lapang aktivitas kesehatan masyarakat adalah promosi dan pencegahan, maka segenap metode, teknik, upaya, dan seni tersebut harus diarahkan untuk mencegah dan mengendalikan berbagai penyakit menular, sekaligus mempromosikan (meningkatkan) perilaku yang selaras dengan kaidah kesehatan.

Dalam menyelenggarakan misi mempromosikan perilaku sehat dan mencegah penyakit, kesehatan masyarakat ditopang oleh berbagai pilar, di antaranya adalah  ilmu promosi kesehatan. Hendrik L Blum  dalam pandangan klasiknya  menyatakan bahwa derajat kesehatan suatu masyarakat dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan, serta genetik. Berdasarkan kerangka ini dijelaskan bahwa lingkungan adalah determinan terkuat terhadap tinggi rendahnya derajat kesehatan. Namun perubahan (transisi) epidemiologi yang menunjukkan meningkatnya jumlah penyakit dan gangguan kesehatan akibat gaya hidup memberikan pemahaman, bahwa perilaku kini merupakan determinan utama yang harus diprioritaskan. Bahkan cukup banyak penyakit yang berbasis lingkungan, misalnya yang ditularkan oleh binantang (zoonosis) dapat dikendalikan apabila perilakunya kondusif.

Teori Kepemimpinan

Kepemimpinan memiliki banyak definisi. Koontz & O’Donnel, mendefinisikan kepemimpinan sebagai proses mempengaruhi sekelompok orang sehingga mau bekerja dengan sungguh-sungguh untuk meraih tujuan kelompoknya.  Wexley & Yuki mengatakan bahwa  kepemimpinan mengandung arti mempengaruhi orang lain untuk lebih berusaha mengarahkan tenaga, dalam tugasnya atau merubah tingkah laku mereka. Adapun George R. Terry mendefinisikan kepemimpinan sebagai kegiatan mempengaruhi orang-orang untuk bersedia berusaha mencapai tujuan bersama. Fiedler (1967), kepemimpinan pada dasarnya merupakan pola hubungan antara individu-individu yang menggunakan wewenang dan pengaruhnya terhadap kelompok orang agar bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan. Berdasarkan definisi di atas, kepemimpinan mengandung unsure-unsur: a) Kemampuan mempengaruhi orang lain, b) Kemampuan mengarahkan atau memotivasi tingkah laku orang lain atau kelompok, dan c) Adanya unsur kerja sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Memimpin, pada dasarnya mengandung  tiga kecakapan pokok, yaitu: (1) Kecakapan memahami individual, artinya mengetahui bahwa setiap manusia mempunyai daya motivasi yang berbeda pada berbagai saat dan keadaan yang berlainan, (2) Kemampuan untuk menggugah semangat dan memberi inspirasi, dan (3) Kemampuan untuk melakukan tindakan dalam suatu cara yang dapat mengembangkan suasana (iklim) yang mampu memenuhi dan sekaligus menimbulkan dan mengendalikan motivasi-motivasi (Amirin, 1983:15). Untuk itu seseorang dapat menjalankan praktek kepemimpinan, apabila:  (1) Memiliki kemampuan persepsi sosial (sosial perception), (2) Kemampuan berpikir abstrak (abilitiy in abstract thinking), dan (3) Memiliki kestabilan emosi (emosional stability).

Pada dasarnya kepemimpinan mengandung tiga elemen, yaitu:

1) Kepemimpinan merupakan suatu konsep relasi (realtion concept), artinya kepemimpinan hanya ada dalam relasi dengan orang lain, maka jika tidak ada pengikut atau bawahan, tak ada pemimpin. Locke berpendapat  bahwa para pemimpin yang efektif harus mengetahui bagaimana membangkitkan inspirasi dan berhubungan  dengan pengikut-pengikutnya.
2) Kepemimpinan merupakan suatu proses, artinya proses kepemimpinan lebih dari sekedar menduduki suatu otoritas atau posisi jabatan saja, karena dipandang tidak cukup memadai untuk membuat seseorang menjadi pemimpin. Pemimpin berarti seseorang pemimpin yang melakukan sesuatu. Oleh karenanya menurut Burns (1978), untuk menjadi pemimpin seseorang harus dapat mengembangkan motivasi pengikut secara terus menerus dan mengubah perilaku mereka menjadi responsive.
Pada awalnya kepemimpinan sangat mengedepankan teori sifat, namun di kemudian hari berkembang teori perilaku, teori kontingensi dan teori-teor lain. Oleh karena itu sangat penting bagi kita memahami teori-teor tersebut.


Membangun Visi Bersama

Secara alamiah, memimpin adalah suatu aktivitas yang harus terus menerus dipelajari, dipraktekkan dan dikembangkan. Dengan demikian, memimpin adalah aktivitas belajar yang harus terus dilaksanakan. Dalam bahasa Cina,  pembelajaran terdiri dari dua simbol yaitu a) simbol belajar yang berarti “mengakumulasikan ilmu pengetahuan” dan simbol mempraktekkan terus menerus, sehingga pembelajaran bermakna “pengusaaan cara pengembangan diri”. Dalam bahasa Indo – Eropa, belajar  diartikan sebagai upaya mendapatkan pengetahuan dengan mengikuti suatu jalur yang sifatnya seumur hidup.   Belajar adalah upaya untuk menguasai cara pengembangan diri seumur hidup (Senge, Ross, Smith & Kleiner, 2001:60-61).
Organisasi manusia, dalam konteks kepemimpinan adalah suatu organisasi pembelajaran, yaitu suatu kegiatan meningkatkan penguasaan ilmu, keterampilan, profesionalisme, dan bidang-bidang lainnya, yang sifatnya berkelanjutan. Peter Senge (1990) mengajukan konsep learning organization dengan lima prinsip disiplin belajar (yang disebut “the fifth discipline”). Kelima prinsip tersebut bekerja secara bersama‑sarna dan merupakan suatu sistem. Kontribusi setiap disiplin akan tampak pada proses learning itu sendiri secara berang­kaian. Lima disiplin tersebut terdiri dari:
1.      Personal Mastery, yaitu kegiatan belajar yang bertujuan memperbesar kapasitas pribadi. Setiap orang diberikan kesempatan menciptakan hasil yang paling diinginkan, dan ling­kungan organisasi yang mendorong ke arah yang lebih berani guna mencapai maksud dan tujuan yang dipi­lihnya. Kegiatan yang dilakukan tidak hanya berwujud pendidikan, pelatihan dan pengembangan, namun termasuk bagaimana membawa pengetahuan ke dalam organisasi dan menggunakan kreativitas untuk melakukan perubahan lingkungan (Garvin, 1993).
2.      Mental Model, adalah refleksi dari kesinambungan peningkatan pengetahuan yang memperjelas gam­baran internal tentang dirinya di dalam dunia. Gambaran ini diangkat ke per­mukaan, ditunjukkan dan akan menjadi pengetahuan eksplisit (explicit know­ledge), sekaligus memperlihatkan bagaimana actions dan decisions dapat ditampilkan. Mental model ini dimiliki oleh setiap individu anggota organisasi, sehingga dapat dimanfaatkan untuk membaca realitas sosial. Garvin (1993), mengatakan bahwa dengan menggunakan mental model, kita akan mendapatkan kondisi organisasi yang seluruh analisisnya diwarnai oleh mental model anggota organisasi yang siap menyampaikan gagasan secara obyektif, sekaligus membuat pikiran secara terbuka serta dapat menerima pemikiran orang lain.
3.      Shared Vision, menyediakan basis untuk berpikir secara umum guna mem­buat komitmen. Shared vision penting untuk menghasilkan fokus dan energi dalam learning (Garvin, 1993). Shared vision dapat digunakan untuk membangun “a sense of commit­ment” kelompok, dengan cara mengembangkan image masing‑masing ang­gotanya secara bersama tentang masa depan yang dicari dan akan diciptakan. Hal tersebut diraih dengan melalui prinsip‑prinsip serta praktek yang terarah dan menghindari adanya pembangkangan dari para anggota organisasi agar tujuan yang diinginkan dapat diraih.
4.      Team Learning, merupakan suatu metode untuk mengharmonisasikan kekuatan individu secara umum, guna mengarah pada suatu visi bersama (Garvin, 1993). Kegiatan ini merupakan proses transformasi dialogis yang  disertai ketrampilan berpikir kolektif, sehingga kelompok pebelajar ini tampil meyakinkan untuk dapat mengem­bangkan kecerdasan, serta kemampuan dan bakat yang lebih besar dari sejumlah anggota tim secara individual. Team learning dapat mengembangkan pola-­pola interaksi yang baik, mengurangi pola‑pola interaksi yang bersifat defensif atau pola‑pola interaksi yang tidak dipahami.
5.      System Thinking, merupakan sesuatu yang membuat seluruh tim learning bekerja dalam harmoni. Ini merupakan suatu cara berpikir tentang keseluruhan (holistic), komprehensif, yang memudahkan kita  memahami pola‑pola interaksi dalam suatu sistem. Sistem ini mengindikasikan adanya berbagai keku­atan dan interelasi yang membentuk perilaku sistem.
Topik kita adalah membangun visi bersama. Visi adalah cita-cita, sesuatu yang akan dicapai oleh organisasi. Sebagai sinergi, maka visi harus diketahui oleh semua unsur dan komponen organisasi. Dalam kesehatan masyarakat, visi kesmas harus dipahami dengan baik oleh seluruh pemangku kepentingan maupun beneficiaries.

PENGEMBANGAN TIM

Kini merupakan era dimana supertim sangat mengemuka. Bekerja dalam tim mempunyai banyak manfaat sekaligus keunggulan dibandingkan bekerja sendirian. dalam menyelesaikan tantangan yang besar, berat dan kompleks diperlukan tim yang tangguh.
A team is a workgroup or unit with a common purpose through which members develop mutual relationships for the achievent of goals/tasks.  Teamwork, implies cooperative and coordinated effort by individuals working together in the interests of their common cause which reques the sharing of talent, leadership and the playing of multiple roles (Hams, 1986)
Tim terbentuk melalui empat tahap perkembangan, yaitu: Undevelopment, Experimenting, Consolidating dan Mature.

Tahap 1 Undevelopment
Tahap ini  paling sering dijumpai pada suatu organisasi. Dalam tahap ini terlihat sekelompok orang mengerjakan suatu tugas, tetapi mereka tidak bersepakat tentang bagaimana seharusnya mereka bekerja.

Salah satu ciri dari tahap ini adalah tidak melibatkan perasaan-perasaan individu, karena dianggap tidak pada tempatnya untuk membicarakan perasaan-perasaan orang lain secara terbuka. Tempat kerja adalah tempat untuk bekerja. Roda organisasi menggelinding sesuai aturan dan prosedur. Orang mengikuti aturan yang ada karena mereka terbiasa dengan itu. Mereka khawatir untuk mengusulkan suatu perubahan. Bahkan gagasan-gagasan yang sebenarnya bersifat membangun, tidak mereka utarakan. Mereka takut jika ‘gagasan itu’ akan mengganggu keseimbangan dan stabilitas organisasi. Perhatian terhadap gagasan-gagasan orang lain sangat kecil dan biasanya ditandai dengan banyak bicara sedikit mendengar. Dalam rapat atau pertemuan lebih sering terjadi antrian lontaran gagasan dan bukan diskusi.

Kelemahan-kelemahan individu berusaha ditutup-tutupi. Kesalahan lebih digunakan sebagai bahan untuk membuktikan kelemahan seseorang dari pada  sebagai kesempatan untuk belajar. Tujuan atau kesepakatan dalam tim biasanya tidak jelas. Bila ada suatu kejelasan mengenai apa yang harus dikerjakan, hal itu datangnya langsung dari atasan, bukan berdasarkan kesepakatan tim.Kritik dari luar ditanggapi secara defensif sekaligus menambah birokrasi dan aturan. Setiap orang sibuk dengan tugasnya masing-masing dan atasan membuat hampir semua keputusan.

Tahap 2 Experimenting
Tahap percobaan dimulai ketika tim secara bersungguh-sungguh mulai meninjau ulang metode-metode operasional yang berlaku selama ini. Inilah yang membedakan tim di tahap undevelopment dan tahap experimenting.  Pada tahap ini tim berkeinginan  untuk melakukan eksperimen dan uji coba. Mereka berani menghadapi berbagai kemungkinan dengan memasuki daerah yang belum dikenal.

Ciri lain yang ditunjukan pada tahap perkembangan ini adalah bahwa berbagai masalah dihadapi dan dibahas secara lebih terbuka dengan mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang lebih luas sebelum membuat suatu keputusan. Bila dibutuhkan, nilai-nilai yang pada awalnya diyakini kebenarannya dibahas kembali. Pada tahap ini timbul perasaan tidak aman, namun sifatnya hanya sementara. Dengan munculnya masalah-masalah yang beresiko, hal-hal yang sebelumnya tabu dibicarakan dapat dibahas ebih terbuka.

Masalah-masalah pribadi dibicarakan secara terbuka, perasaan-perasaan individu dipertimbangkan dan masalah pribadi diselesaikan sampai tuntas. Orang mulai mengutarakan hal-hal yang ingin mereka sampaikan tetapi ditekan selama beberapa waktu. Situasi ini mungkin akan menimbulkan ketegangan di antara anggota tim akan tetapi mereka mulai merasakan bahwa setelah semua unek-unek (persoalan) dikeluarkan tim akan menjadi tempat yang lebih nyaman dan sehat.

Tim dengan sendirinya akan lebih melihat kedalaman. Ini adalah tahap perubahan, dimana tim ingin memperbaiki diri sendiri karena mereka melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang terpenting untuk dilakukan.

Para anggota tim lebih saling memperhatikan dan menunjukkan kepedulian kepada masalah-masalah dan gagasan-gagasan rekan dalam tim mereka. Hasilnya adalah mereka akan lebih banyak mendengar dan saling mengerti satu sama lainnya. Rapat akan menjadi suatu pertemuan yang lebih hidup dengan diskusi, mendengar dan berpikir, serta lebih sedikit berbicara. Pada tahap ini suasana dalam tim akan penuh dinamika dan menarik. Para pengamat dapat melihat bahwa tim menjadi lebih hidup dan para anggota yang tadinya kurang memberikan kontribusi menjadi berperan aktif.

Tetapi walaupun tim telah menjadi lebih terbuka dan mempunyai potensi untuk menjadi lebih efektif, masih kurang untuk disebut sebagai tim yang efektif yang menghasilkan keuntungan.

Tahap 3 Consolidating Setelah berhasil menyelesaikan masalah antar pribadi di tahap experimenting, tim mulai memiliki kepercayaan diri, keterbukaan dan dipercaya untuk mencoba cara kerjanya. Biasanya tim akan memilih cara kerja yang lebih sistematik.

Aturan-aturan dan cara kerja yang kaku diubah dengan aturan baru yang disepakati bersama, dimana setiap anggota memiliki peran agar tujuan dapat dicapai. Walau hubungan antar pribadi telah mejadi lebih erat, mereka sadar akan pentingnya aturan-aturan dasar dan cara kerja yang akan dipakai oleh tim. Bukti-bukti yang paling nyata dari tahap ini adalah cara untuk mencapai suatu keputusan, yaitu dengan  adanya kejelasan tujuan dari aktivitas/tugas, adanya penetapan sasaran, pengumpulan informasi yang dibutuhkan, adanya kemauan memikirkan kemunginan-kemungkinan yang ada pada tim, adanya perencanaan rinci mengenai apa yang harus dilakukan, kesediaan meninjau kembali hasil kerja dan menggunakannya sebagai dasar untuk memperbaiki cara kerja di masa yang akan datang.

Hubungan antar pribadi yang lebih baik pada tahap experimenting tetap dipertahankan, tetapi mereka membangun aturan dasar dan cara kerja yang akan dipakai oleh tim.

Tahap 4 Mature
Setelah tahap 3 dilalui, tersusunlah dasar bagi terbentuknya suatu tim yang matang. Keterbukaan, kepedulian dan peningkatan hubungan pribadi pada tahap 2 serta pendekatan yang sistematik dari tahap 3 modal dasar bagi terbentuknya tim yang benar-benar matang. Fleksibilitas menjadi hal yang utama, karena setiap kebutuhan-kebutuhan memiliki prosedur kerja yang berbeda. Seseorang tidak lagi khawatir untuk mempertahankan posisi mereka.

Kepemimpinan ditentukan oleh situasi bukan oleh ketentuan-ketentuan yang kaku. Tim mengenali tipe kepemimpinan yang dibutuhkan dan pemimpin mengenali kebutuhan untuk melibatkan anggota-anggotanya.

Penggunaan energi dan kemampuan secara maksimal dari tiap anggota disebabkan karena adanya komitmen. Ada perasaan bangga akan keberhasilan tim dan hal tersebut tidak menghambat keberhasilan individu.

Anggota tim menyadari bahwa mereka adalah bagian dari suatu organisasi ataupun bagian dari suatu masyarakat. Oleh karena itu keputusannya juga mempertimbangkan aspek-aspek sosial maupun hal-hal yang universal sifatnya.

Pengembangan menjadi prioritas, karena mereka sadar bahwa sukses yang berkesinambungan membutuhkan pengembangan yang juga berkesinambungan. Keinginan untuk memperbaiki diri dilakukan dengan membuka diri terhadap bantuan dari luar.

Saling percaya, keterbukaan, kejujuran, kerja sama dan ‘konfrontasi’ maupun review berkala terhadap hasil kerja, menjadi gaya hidup tim. Tim akan selalu bersedia untuk membantu tim-tim lain yang mengalami kesulitan maupun yang belum sampai ke tahap mereka. Tetapi lebih dari itu, tim ini adalah tempat yang menyenangkan dan membawa hasil.

Praktikum Membangun Tim

Kali ini kita masuk pada praktikum pembentukan tim (team building). Team building yang solid, bagi sebuah organisasi  adalah hal yang esensial untuk tercapainya tujuan dan cita-cita. Bagi pimpinan organisasi soliditas tim dibawahnya merupakan ujung tombak prestasi kinerjanya pada organisasi tersebut. Membangun team building yang kompak, solid dan terintegrasi memang tidak mudah. Hal ini dipengaruhi oleh keragaman tipikal orang dalam tim, yang tentu saja menghasilkan pemikiran, pengambilan keputusan, dan gaya berpikir yang berbeda pula.
Jika proses team building yang dilakukan seorang pimpinan sukses, maka hasil kerja yang didapat tentu akan berlipat ganda sejalan dengan beragamnya tenaga maupun pikiran. Tidak hanya itu, team building yang sukses adalah faktor utama efisiensi dan efektifitas output dan produk yang dihasilkan. Selain itu, perbedaan produktifitas organisasi/perusahaan juga terlihat dari kuantitas maupun kualitas target yang dicapai. Oleh karena itu untuk membentuk team building yang solid tidak bisa semata hanya dilihat dari sudut tim (orang-orang) yang akan dibentuk, tetapi juga memposisikan manajer sebagai bagian dari tim yang akan berjalan.
Berikut beberapa cara membentuk team building :
1. Tetapkan Target. Target yang ditetapkan minimal mencakup 2 macam hal, yakni : target organisasi dan target personal seorang pimpinan. Target organisasi adalah standar minimal yang harus dicapai dari team building yang terbentuk, atau target-target ‘standar’ produktifitas perusahaan  tersebut. Sementara target personal seorang pimpinan adalah hasil tambahan yang mungkin dicapai oleh team building yang dibentuk. Misalnya, penambahan kapasitas maupun kompetensi dari masing-masing personal selama tim berjalan. Sehingga team building yang dihasilkan dapat terpetakan dengan jelas dan terukur, dari sisi produktifitas yang dihasilkan maupun skill masing-masing anggota. Peningkatan skill tentu berpengaruh pada kuantitas dan kualitas yang dihasilkan team building tersebut dan mampu membuka peluang prestasi kerja yang terbaik di setiap tugas.
2. Tentukan Program. Penentuan program harus sejalan dengan target yang telah ditetapkan. Program yang baik adalah program yang mampu merepresentasikan langkah dan cara dalam mencapai keseluruhan target yang telah ditetapkan. Program tersebut akan membuktikan sejauh mana seorang pimpinan team building mampu merealisasikan targetnya dan target organisasinya. Pada penentuan program inilah kualitas seseorang menjadi pemimpin team building akan dibuktikan sebelum dia melakukan pekerjaan bersama timnya. Penentuan program dan mekanisme jadwal pelaksanaan ini sangat krusial dalam membentuk soliditas team building karena penentuan program ini merupakan langkah awal perjalanan sebuah tim yang akan dibentuk.
3. Pemilihan Orang. Pemilihan orang adalah hal terakhir yang harus dicermati pemimpin tim. Apabila traget dan program merupakan ‘piranti lunak’ yang harus dimiliki seorang pimpinan tim, maka  anggota tim adalah ‘perangkat keras’ yang akan merealisasikannya. Namun  jika sudah terbentuk team building, maka seorang pimpinan tetap harus berpedoman pada target yang telah ditentukan dengan tidak menutup kemungkinan perubahan cara/langkah pada pelaksanaan program.
Selamat melakukan prakti

 MEMBANGUN SISTEM

Membangun sistem berarti membentuk interaksi secara reguler atau mengusahakan
kesaling-bergantungan (interdependensi) antargroup atau unit agar menjadi kesatuan yang
utuh untuk bekerja mewujudkan tujuan yang diinginkan. Sistem kerja di organisasi itu sama seperti sistem yang bekerja seperti halnya keterkaitan antar komponen pada mesin-mesin industri dan  kendaraan. Semua komponen yang bertautan harus bersinggungan secara halus agar mesin bekerja baik. Apabila ada gangguan salah satu komponennya,  pasti mesin tersebut tidak dapat beroperasi normal, dengan kata lain "there is something less or wrong".

Di dalam organisasi, sistem memiliki beberapa fungsi, yaitu:

1. Membentuk perilaku individu dalam organisasi
Perilaku individu tak cukup dibentuk dengan pengetahuan. Seandainya itu cukup, pasti semua individu dalam porganisasi akan berperilaku sama. Semua orang (kecuali sebagian kecil) sudah tahu apa yang baik, apa yang benar dan apa yang bermanfaat untuk dilakukan, serta apa yang harus dilakukan. Tetapi prakteknya tidak begitu. Artinya, diperlukan sistem yang bekerja untuk
membantu individu menjalankan apa yang sudah diketahuinya supaya sejalan dengan visi-misi organisasi.

2. Membentuk standar kualitas operasi organisasi
Kualitas pelaksanaan kegiatan pada akhirnya akan memberikan manfaat dan keuntungan pada semua komponen organisasi. Oleh karena itu diperlukan standar dan sistem kerja yang harus mendukung pencapaian produk. dibutuhkan sistem kerja yang sudah terstandar. Lemahnya sistem kerap membuat suatu usaha itu tidak sanggup memberikan hasil yang memuaskan. Sistem di sini berfungsi membakukan proses dan hasil yang diharapkan.

3. Menentukan standar kualitas orang.
Sistem yang baik akan mempengaruhi kualitas orang-orang di dalamnya. Tidak heran kalau orang yang memiliki pengalaman bekerja di suatu organisasi, yang sistemnya tertata baik, ikut mahal harganya. Sehingga orang-orang yang bekerja di situ tak hanya mendapatkan imbalan uang semata, tetapi juga mendapatkan standar kualitas tertentu yang berharga. Di sini, organisasi memainkan sedikitnya dua hal: a) menjadi lahan untuk mencari uang, dan b) menjadi lahan pendidikan (self-education).


Sistem dapat dibangun apabila setidaknya memenuhi 4 prinsip, yaitu:

1. Komitmen.
Komitmen yang saya maksudkan di sini adalah bentuk nyata dari sebuah kesungguhan, dari mulai level menggagas sampai level menjalankan, from the world of word to the world of action, dari konsep ke praktek. Sebagus apapun desain rencana atau strategi yang kita rumuskan untuk membangun sistem, akan sia-sia kalau komitmen, kesungguhan dan teladan ini hilang.

2. Layak dipercaya (credibility).
Untuk membangun sistem dibutuhkan kehadiran orang yang kredibel menurut
sistem yang dibangunnya. Membangun sisitem apapun,  sistem kerja, sistem usaha bahkan keluarga membutuhkan orang yang ahli di bidangnya. Kredibilitas yang dimaksud bukan saja terkait dengan keahlian profesional saja, namun juga kredibel dalam kekuatan moral-spiritual, misalnya kejujuran, amanah, ketaatan, dan lain-lain. Abraham Lincoln berkesimpulan, tak ada yang bisa dibangun di atas pondasi pelanggaran. Bahkan, seperti yang dibuktikan praktek hidup, kalau pun ada, itu sifatnya hanya sementara, bagai busa yang cepat menghilang.

3. Komunikasi
Membangun sistem juga membutuhkan kemampuan berkomunikasi. Komunikasi yang dimaksud adalah menyampaikan pesan kepada orang lain tentang ide-ide yang menyangkut sistem itu.

4. Kecerdasan
Prinsip keempat adalah kecerdasan. Membangun sistem membutuhkan
kecerdasan.  Howard Gardner dalam "Multiple Intelligence", menyatakan kecerdasan di sini berarti kemampuan memecahkan masalah di lapangan dengan cara-cara, tehnik-tehnik, atau
strategi-strategi yang selalu lebih baik. Ini berarti mencakup kreativitas, menambah pengetahuan, menambah keahlian, kesadaran menghilangkan kebodohan, kesadaran mengurangi kelemahan, belajar tentang bagaimana belajar, dan lain-lain.
Meskipun demikian, seringkali dalam membangun sisitem terdapat berbagai gangguan dan ketidakberhasilan, di mana sebagian di antaranya disebabkan oleh:
1.      Menempatkan pembangunan sistem hanya pernyataan saja
2.      Lemah Karakter
3.      Me-mekanis-kan hubungan
4.      Salah memahami problem

Pengelolaan Konflik

Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) di mana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik biasanya dilatarbelakangi oleh berbagai perbedaan cirri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan tersebut di antaranya menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, bahkan cara-cara mengatasi suatu persoalan. Dengan demikian konflik merupakan fenomena  yang wajar yang dapat terjadi pada setiap orang atau masyarakat.
Robbin (1996: 431) mengatakan, bahwa dalam organisasi konflik disebut sebagai The Conflict Paradox, yaitu pandangan bahwa pada satu sisi konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja kelompok, tetapi di sisi lain dipandang merugikan sehingga perlu dikurangi atau bahkan dihilangkan. Konflik dapat ditinjau dari tiga pandangan, yaitu:
  1. Pandangan tradisional (The Traditional View). Pandangan ini menyatakan bahwa konflik itu hal yang buruk, sesuatu yang negatif, merugikan, dan harus dihindari. Konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality. Konflik ini merupakan hasil disfungsional dari buruknya komunikasi, rendahnya kepercayaan serta dan kegagalan pimpinan memahami kebutuhan dan aspirasi anggota.
  2. Pandangan hubungan manusia (The Human Relation View). Pandangan ini menyatakan bahwa konflik dianggap sebagai suatu peristiwa yang wajar terjadi di dalam kelompok atau organisasi. Konflik dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari karena di dalam kelompok atau organisasi pasti terjadi perbedaan pandangan atau pendapat antar anggota. Oleh karena itu, konflik harus dijadikan sebagai suatu hal yang bermanfaat guna mendorong peningkatan kinerja organisasi. Dengan kata lain, konflik harus dijadikan sebagai motivasi untuk melakukan inovasi atau perubahan di dalam tubuh kelompok atau organisasi.
  3. Pandangan interaksionis (The Interactionist View). Pandangan ini cenderung mendorong suatu kelompok atau organisasi terjadinya konflik. Hal ini disebabkan suatu organisasi yang kooperatif, tenang, damai, dan serasi cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif.  Oleh karena itu, menurut pandangan ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimum secara berkelanjutan sehingga tiap anggota di dalam kelompok tersebut tetap semangat, kritis, dan kreatif.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar