Kamis, 14 April 2011

SPM dan yan Publik diOtonomi daerah


STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) DANPENINGKATAN PELAYANAN PUBLIK DI ERA OTONOMI DAERAH
Minimum Service Standard and Public Service Increase in Local Autonomy Era
Oleh: Kushandajani
ABSTRAK
Fungsi utama pemerintah daerah adalah penyediaan pelayanan publik bagi masyarakat daerah bersangkutan. Oleh sebab itu optimalisasi pelayanan publik yang efisien dan efektif menjadi perhatian utama pemerintah daerah agar dapat menyajikan pelayanan publik yang prima bagi masyarakat. Standar Pelayanan Minimal (SPM) merupakan salah satu cara yang ditempuh untuk mendorong pemerintah daerah melakukan pelayanan publik yang tepat bagi masyarakat, dan sekaligus mendorong masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap kinerja pemerintah di bidang pelayanan publik
.
ABSTRACT
The ultimate function of local government is to prepare public service for the local society. Therefore, optimalization of public service efficiency and effectiveness should be the focus of local government in order to present excellent public service. The Minimum Service Standar is a benchmark (understood as a minimum level of performance or national target level) for encouraging the local government in delivering its service to the local society, as well as in encouraging the society to pay control to the performance of the local government in terms of its public service delivery.
Key words:performance, minimum service standar, public service
A. Pendahuluan
“Tanggal 2 Januari 2004 hingga 31 Maret 2004 oleh Pemerintah Kota Semarang dicanangkan sebagai bulan
pelayanan publik. Pelaksanaan bulan pelayanan publik tersebut sebagai permulaan pemberlakuan standar pelayanan minimal (SPM) untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Ada empat macam pelayanan yang diutamakan dalam bulan pelayanan publik nantinya, yaitu : menyangkut pengurusan ijin mendirikan bangunan (IMB), ijin gangguan (HO), kartu tanda penduduk (KTP), dan pengurusan kelaikan
kendaraan (kir)” (Kompas, 2 Desember 2003)

Ilustrasi tersebut menunjukkan bahwa Daerah Kabupaten/Kota di Jawa Tengah sudah mulai menerapkan SPM dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Mengapa SPM ? SPM dianggap sebagai tindakan yang logis
bagi Pemerintah Daerah karena beberapa alasan. Pertama, didasarkan kemampuan daerahnya masing-masing, maka sulit bagi Pemerintah Daerah untuk melaksanakan semua kewenangan/fungsi yang ada. Keterbatasan dana, sumberdaya aparatur, kelengkapan, dan faktor lainnya membuat Pemerintah Daerah harus mampu menentukan jenis-jenis pelayanan yang minimal harus disediakan bagi masyarakat. Kedua, dengan munculnya SPM memungkinkan bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan kegiatannya secara “lebih terukur”.
Ketiga, dengan SPM yang disertai tolok ukur pencapaian kinerja yang logis dan riil akan memudahkan bagi masyarakat untuk memantau kinerja aparatnya, sebagai salah satu unsur terciptanya penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik merupakan issue yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini. Tuntutan kuat yang dilakukan oleh masyarakat kepada pemerintah untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah sejalan dengan meningkatnya tingkat pengetahuan masyarakat, disamping adanya pengaruh globalisasi.
Selain itu pola-pola lama penyelenggaraan pemerintahan dianggap tidak sesuai lagi bagi tatanan masyarakat yang telah berubah, dimana di masa lalu negara ataupun pemerintah sangat dominan, menjadikan masyarakat menjadi pihak yang sangat diabaikan dalam setiap proses pembangunan. Oleh karena itu
tuntutan itu merupakan hal yang wajar dan seharusnya direspon oleh pemerintah dengan melakukan perubahan-perubahan yang terarah pada terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
Di Indonesia, dengan keluarnya UU No. 22 Tahun 1999 dalam derajat tertentu memberi harapan baru terhadap perkembangan desentralisasi, paling tidak akan meningkatkan akuntabilitas para pejabat Daerah pada publiknya. (James Alm and Roy Bahl, 1999: 5) Adalah suatu hal yang tidak dapat dipungkiri lagi bahwa telah terjadi tuntutan pergeseran tugas-tugas pemerintah.
Sejalan dengan desentralisasi maka tugas-tugas pemerintah kini lebih memungkinkan dilaksanakan oleh daerah, dengan asumsi bahwa peningkatan kesejahteraan rakyat akan lebih cepat diwujudkan mengingat lebih dekatnya pemerintah daerah kepada masyarakat.
Perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintahan daerah, dari sentralistisasi ke desentralisasi, dari terpusatnya kekuasaan pada pemerintah daerah (eksekutif) ke power sharing antara eksekutif dan legislatif daerah, harus disikapi dengan mengubah manajemen pemerintahan daerah. Dari sisi
manajemen publik, juga terjadi perubahan nilai yang semula menganut proses manajemen yang berorientasi kepada kepentingan internal organisasi pemerintahan ke kepentingan eksternal disertai dengan peningkatan pelayanan dan pendelegasian sebagian tugas pelayanan publik dari pemerintah ke
masyarakat ataupun pasar. Demikian juga sebagai konsekwensi reformasi, manajemen publik juga harus beralih orientasi dari orientasi lama yang menekankan pada proses “tindakan administrasi” yang meliputi kegiatan:
perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), penempatan pegawai (staffing), pengarahan (directing), pengawasan (controlling), pengaturan (regulating), dan penganggaran (budgeting) ke orientasi baru yang menekankan pada proses “pembuatan kebijakan dan tindakan pelaksanaan” yang meliputi kegiatan: analisis kebijakan (policy analysis), manajemen keuangan (financial management), manajemen sumberdaya manusia (human resources management), manajemen informasi (information management), dan hubungan
keluar (external relation). Semua perubahan di atas harus diantisipasi oleh semua pelaksana pemerintahan, terutama kepala daerah.
Dengan adanya orientasi baru dalam manajemen publik tersebut, maka pemerintah daerah tidak saja dituntut akuntabilitasnya ke dalam tetapi justru ke luar (masyarakat). Melalui akuntabilitas publik, pemerintah akan dipantau dan dievaluasi kinerjanya oleh masyarakat. Pemantauan dan evaluasi terhadap kinerja pemerintah daerah akan lebih mudah jika pemerintah daerah sudah membuat indikator dan target-target yang disusun dalam Standar Pelayanan Minimal (SPM). SPM yang telah tersusun akan menjadi pedoman bagi kedua belah pihak, pemerintah daerah maupun masyarakat. Bagi pemerintah daerah SPM dijadikan pedoman dalam melakukan pelayanan publik, sedangkan bagi masyarakat SPM merupakan pedoman untuk memantau dan mengukur kinerja pemerintah daerah.

B. Pembahasan
1. Fungsi-fungsi Pemerintahan Daerah
Secara umum fungsi-fungsi pemerintahan (daerah) dapat digolongkan dalam 4 pengelompokkan yaitu : penyediaan pelayanan, pengaturan, pembangunan, dan perwakilan. Fungsi penyediaan pelayanan-pelayanan
berorientasi pada lingkungan dan kemasyarakatan. Pelayanan lingkungan mencakup antara lain jalan-jalan daerah, penerangan jalan, pembuangan sampah, saluran air limbah, pencegahan banjir, pemeliharaan taman dan tempat rekreasi. Selain itu pelayanan medik dan kesehatan juga merupakan pelayanan minimal disamping sarana dan pendidikan. Di Malaysia pendidikan bagi masyarakat umum sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah pusat. Adapun di Indonesia, pendidikan masih menjadi hal yang dianggap mahal, karena pembiayaan pendidikan sebagian besar masih ditanggung oleh masyarakat.
kekuasaannya untuk mengatur kegiatan-kegiatan khusus seperti tata gunaFungsi pengaturan menyangkut perumusan dan menegakkan (enforce) peraturan-peraturan. Sementara pertahanan dan angkatan bersenjata selalu menjadi tanggungjawab Pemerintah Pusat, penyelenggaraan ketertiban umum seringkali dilimpahkan kepada daerah. Di Inggris, angkatan kepolisian dikelola oleh pejabat-pejabat kepolisian yang diangkat dan dibiayai oleh dewan-dewan pemerintah daerah, meskipun pengendalian operasionalnya menjadi tanggungjawab kepala kepolisian. Paling umum bagi pemerintah daerah adalah tanah, standar bangunan, dan hiburan.
Fungsi pembangunan melibatkan secara langsung pemerintah daerah dalam bentuk-bentuk kegiatan ekonomi, seperti industri, perkebunan, kehutanan, maupun perdagangan. Di sebagian negara Asia Tenggara pemerintah daerah ditujukan untuk memainkan suatu peranan pembangunan dengan penekanan utama pada bidang pertanian.
Fungsi perwakilan, berhubungan dengan menyatakan pendapat daerah atas hal-hal di luar bidang tanggungjawab eksekutif. Fungsi ini penting dalam menentukan bobot dan pengaruh pemerintahan daerah, tetapi peranan keuangannya yang langsung kecil.
Melihat keempat fungsi pemerintahan daerah tersebut, maka fungsi pelayanan publik merupakan inti dari penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Keberadaan Pemerintah Daerah bisa teruji baik jika sudah menyelenggarakan pelayanan publik secara optimal.
2. Penyusunan SPM Kabupaten/Kota
Penyelenggaraan pelayanan publik bergandeng erat dengan kewenangan/urusan/fungsi yang dijalankan oleh daerah. Kemampuan daerah (propinsi, kabupaten/kota) dalam mengidentifikasi kewenangan/fungsi daerah
akan sangat mempengaruhi kemampuan mereka menyusun Standar Pelayanan Minimal (SPM) sesuai bidang-bidang kewenangan pemerintahan yang diselenggarakan.
Dengan mempertimbangkan keberadaan berbagai tingkatan pemerintahan di Indonesia, maka pihak yang sangat mendesak membutuhkan SPM adalah pihak pemerintah kabupaten/kota. Hal ini didasarkan pada
beberapa pertimbangan. Pertama, UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah menempatkan otonomi daerah secara utuh pada daerah kabupaten/kota. Konsekwensinya, daerah kabupaten/kota mempunyai
kewenangan dan keleluasaan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakatnya. Kedua, dibandingkan posisi propinsi maupun pusat, maka posisi kabupaten/kota paling dekat dengan masyarakat. Sehingga tuntutan pelayanan publik akan lebih diarahkan pada
pemerintah kabupaten/kota. Ketiga, dengan tuntutan masayarakat yang bisa langsung disampaikan, maka pemerintah daerah kabupaten/kota dituntut pula untuk menyediakan berbagai jenis pelayanan bagi masyarakat daerahnya masing-masing.
Dalam rangka menyusun Standar Pelayanan Minimal (SPM), paling tidak dibutuhkan beberapa tahapan, yang terurai dalam bagan alir seperti berikut.

Identifikasi kewenangan daerah merupakan kegiatan pemerintah daerah, sebagai konsekwensi dilimpahkannya 11 (sebelas) kewenangan wajib dari Pusat kepada kabupaten/kota sebagaimana diamanatkan dalam pasal 11 ayat (2) UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Daerah Kabupaten/Kota harus mengidentifikasi kewenangan/fungsi mereka sendiri, dan sekaligus melakukan negosiasi dengan pihak Propinsi untuk menentukan fungsi-fungsi mana yang lebih tepat dilaksanakan oleh Propinsi dan mana yang
kemungkinan terjadi tumpang tindih dengan pihak propinsi. Hasil akhir berupa daftar kewenangan/fungsi yang cakupannya lengkap.
Hasil lengkap tersebut dikomunikasikan dengan stakeholders daerah kabupaten/kota bersangkutan, disertai dengan pengukuran terhadap kemampuan daerah (kemampuan sumberdaya aparatur, kemampuan ekonomi
daerah, kemampuan teknologi, dsb.) dalam menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan yang ada. Berdasarkan pertimbangan yang matang tersebut akan muncul short list kewenangan/fungsi daerah kabupaten/kota bersangkutan, yang benar-benar bisa dilaksanakan.
Short-list kewenangan/fungsi tersebut secara logis tentu tidak bisa diselenggarakan secara menyeluruh pada waktu bersamaan. Oleh sebab itu, didasarkan pada kriteria seperti: pengukuran kebutuhan masyarakat akan
pelayanan-pelayanan mendasar , terukur, terus menerus, dan berorientasi pada output yang dirasakan masyarakat, serta mungkin untuk dikerjakan, maka Kebutuhan Masy akan jenis-jenis Pelayanan tertentu SPM + Indikator Pencapaian Kinerja Identifikasi Kew. Daerah Melihat Kemampuan Daerah (SDM, Tekno, Perlengkapan, dsb)

Tolokukur tersebut bisa memuat indikator-indikator seperti:
1. input 
(masukan)Bagaimana tingkatan atau besaran sumber-sumber yang digunakan,seperti sumberdaya manusia, dana, material, waktu, teknologi, dansebagainya.
2. output (keluaran)
Bagaimana bentuk produk yang dihasilkan langsung oleh kebijakan atau program berdasarkan masukan (input) yang digariskan.
3. outcome (hasil)
Bagaimana tingkat pencapaian kinerja yang diharapkan terwujud berdasarkan keluaran (output) kebijakan atau program yang sudah dilaksanakan.
4. benefit (manfaat)
Bagaimana tingkat kemanfaatan yang dapat dirasakan sebagai nilai tambah bagi masyarakat maupun pemerintah daerah
5. impact (dampak)
Bagaimana dampaknya terhadap kondisi makro yang ingin dicapai berdasarkan manfaat yang dihasilkan
Tolok ukur pencapaian kinerja sangat penting untuk disertakan, agar masing-masing unit organisasi pelaksana dari kewenangan/fungsi dalam bidang tertentu dapat mengukur dirinya sendiri apakah sudah berhasil melaksanakan tugasnya atau belum. Di sisi lain, dengan ukuran kinerja yang jelas, publik atau
masyarakat juga bisa memantau kinerja unit organisasi tersebut. Karena dengan transparansi pengukuran juga menggambarkan akuntabilitas unit organisasi tersebut pada publik.
Bentuk akuntabilitas dalam aspek pelayanan publik harus memuat beberapa hal seperti: Adanya rumusan standar kualitas yang jelas dan disosialisasikan kepadamasyarakat Adanya sistem penanganan keluhan yang responsif Adanya ganti rugi yang diberikan kepada klien atau pengguna jasa apabila mereka tidak puas dengan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah
Adanya lembaga banding apabila terjadi konflik antara klien dengan aparat pelaksana pelayanan publik
Dengan menerapkan sistem akuntabilitas di dalam pelayanan publik, maka sekali lagi pemerintah daerah akan ditempatkan pada posisi yang setiap saat dapat dievaluasi kinerjanya, dikoreksi dan disempurnakan, dan dipertanggungjawabkan tidak saja ke dalam organisasi pemerintah daerah tetapi juga ke publik.

3. Pelimpahan Fungsi Pelayanan Pada Kecamatan dan Kelurahan
Kebijakan baru tentang otonomi daerah di Indonesia (dengan lahirnya UU No.22 dan 25 Tahun 1999) memberikan implikasi sangat luas terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. Implikasi tersebut tidak saja menyentuh pada besarnya kewenangan daerah, tetapi juga pada kelembagaan dan kepegawaian daerah. Jika kewenangan yang dilaksanakan Daerah berubah (meluas) maka kelembagaan Daerah juga berubah untuk mewadahi kewenangan yang ada. Organisasi harus didesain sedemikian rupa
agar kewenangan-kewenangan yang luas tersebut dapat dilaksanakan secara maksimal. Selanjutnya formasi pegawai juga berubah sesuai dengan tuntutan organisasi ataupun kelembagaan yang dibentuk. Perubahan yang cukup mendasar terjadi pula pada konstruksi dan bentuk susunan daerah. Jika pada saat berlakunya UU No. 5 Tahun 1974, daerah otonom (sebagai konsekwensi diberlakukannya desentralisasi) keberadaannya berimpit dengan wilayah administrasi (sebagai konsekwensi penerapan dekonsentrasi), sehingga penyebutannya menjadi: Propinsi Daerah Tingkat I dan Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II. Maka dengan berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 terjadi perubahan yang mendasar, dimana hanya Propinsi saja yang melaksanakan dua bentuk kewenangan yaitu desentralisasi dan dekonsentrasi, sedangkan Daerah Kabupaten/Kota semata-mata menjalankan kewenangan desentralisasi saja. Implikasi lebih lanjut dengan diterapkannya UU No. 22/1999 sebagaimana tertuang dalam pasal 129 adalah dihapuskannya lembaga Pembantu Bupati; kemudian Camat tidak lagi merupakan Kepala Wilayah namun sebagai Perangkat Daerah (Pasal 66).
Kecamatan menurut UU No. 22 tahun 1999 merupakan perangkat daerah Kabupaten/Kota yang dipimpin oleh Kepala Kecamatan dengan sebutan Camat. Camat diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Sekretaris daerah Kabupaten/Kota dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat. Camat menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota. Camat bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota. (Pasal 66) Dihapusnya Pembantu Bupati dan terjadinya perubahan status Camat
dan Kecamatan menunjukkan bahwa implikasi pelaksanaan UU No. 22/1999 akan berdampak cukup luas terhadap peran dan fungsi Kecamatan. Dari gambaran tersebut nampak bahwa dalam rangka menunjang pelaksanaan UU No. 22/1999 perlu ada rekonstruksi mekanisme penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Hal ini tidak terlepas dari posisi Camat yang semestinya sangat strategis karena menerima pelimpahan sebagian kewenangan dari Bupati/Walikota. Diharapkan sebagian dari kewenangan yang dipandang
relevan dan tepat bagi tuntutan pelayanan masyarakat akan diserahkan kepada
Camat, dan seterusnya sebagian kewenangan Camat juga diserahkan kepada Kelurahan.
Adapun Kelurahan menurut UU No. 22/1999 adalah perangkat Kecamatan yang dipimpin oleh Kepala Kelurahan, yang disebut Lurah. Lurah diangkat dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat oleh Walikota/Bupati atas usul Camat. Lurah menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Camat. Lurah bertanggungjawab pada Camat. (Pasal 67) Adanya perubahan peran menurut UU No. 22/1999 dimana Camat dan Kelurahan diletakkan pada posisi strategis bahkan sebagai ujung tombak
pelayanan terhadap masyarakat, maka penting kiranya melakukan identifikasi fungsi-fungsi pemerintahan yang sebaiknya dilaksanakan di Kelurahan.
Berkaitan dengan pelaksanaan SPM, alangkah baiknya Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (dalam hal ini Bupati/Walikota) juga melakukan identifikasi kewenangan/fungsi yang sebaiknya diserahkan pada Camat dan
Lurah untuk melaksanakan sebagian kewenangan/fungsi yang ada di SPM.
Pada dasarnya kecamatan maupun kelurahan merupakan tingkatan wilayah yang memiliki posisi yang sangat dekat dengan masyarakat. Oleh sebab itu bentuk maupun macam kewenangan/fungsi yang diserahkan pada camat dan lurah seyogyanya bersifat praktis, sederhana, dan menyentuh kehidupan riil masyarakat.

Kelurahan akan memiliki manfaat yang besar seperti:
1. penyelenggaraan pelayanan terhadap masyarakat semakin dekat dengan sasaran;
2. dengan pelayanan yang langsung kepada masyarakat, maka semakin kecil rantai birokrasi yang harus ditempuh oleh masyarakat dalam rangka memperoleh pelayanan dari Pemerintah Daerah;
3. dengan rantai birokrasi yang semakin pendek, juga memungkinkan Pemerintah Daerah untuk melakukan efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pelayanannya.

C. Penutup
Ada beberapa hal yang bisa disimpulkan dalam tulisan ini. Pertama, SPM merupakan standar minimum pelayanan publik yang harus disediaan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat. Dengan adanya SPM maka akan terjamin kualitas minimum dari suatu pelayanan publik yang dapat dinikmati oleh masyarakat, dan sekaligus akan terjadi pemerataan pelayanan publik dan menghindari kesenjangan pelayanan antar daerah. Kedua, SPM sangat mendesak untuk disusun, khususnya bagi kabupaten/kota yang memang secara
langsung merupakan penyedia pelayanan publik. Ketiga, posisi propinsi yang dalam pelaksanaan kewenangan daerah lebih banyak bertindak sebagai “pendukung, fasilitator, ataupun koordinator ” bagi pelaksanaan kewenanganlintas kabupaten/kota, maka sebaiknya dalam penyusunan SPM juga tidak
melepaskan diri dari posisi dan peran tersebut, sehingga lebih mendorong daerah kabupaten/kota untuk lebih berinisiatif melaksanakan kewenangan daerah. Keempat kemampuan seorang pemimpin daerah dalam
mendelegasikan wewenang ke unit-unit organisasi juga menentukan keberhasilan daerah dalam melaksanakan SPM.
Akhir kata, semoga penyusunan SPM di masa mendatang akan lebih meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, sehingga pemerintah daerah akan lebih akuntabel di mata masyarakat daerahnya masing-masing.

Daftar Bacaan

Alm, James and Roy Bahl. 1999. “Decentralization in Indonesia: Prospects and Problems”. USAID.
Bahl, Roy. 1999. Implementation Rules for Fiscal Decentralization. Atlanta: George State University.
Billah, MM. 1996. “Good Governance dan Kontrol Sosial”, dalam Prisma No. 8. Jakarta: LP3ES.
Cheema, G. Shabbir and Dennis A. Rondinelli, ed. 1983. Decentralization and Development. California. SAGE Publications.
Corbett, D. 1996. Australian Public Sector Management, 2nd Edition. New South Wales. Allen & Umvin.
GTZ. 2004. Pegangan Memahami Desentralisasi: Beberapa Pengertian tentang
Desentralisasi. Yogyakarta: Pembaruan.

Hanaoka, Keiso (ed.). 1984. Comparative Study on The Local Public
Administration in Asian and Pasific Countries, Tokyo, Eropa Locall
Government Center.
Haris, Syamsuddin. 2001. Paradigma Baru Otonomi Daerah. Jakarta: P2P-LIPI.
Helmi Fuady, Ahmad, dkk. 2002. Memahami Anggaran Publik. Yogyakarta:
IDEA Press
Kaloh, j. 2002. Mencari Bentuk Otonomi Daerah: Suatu Solusi dalam Menjawab
Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global. Jakarta: Rineke Cipta.
Litvack, Jennie, etc. 1998. Rethinking Decentralization in Developing Countries.
The World Bank. Washington D.C
Mardiasmo, 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta:
ANDI
Mawhood, Philip, ed. 1983. Local Government in The Third World. New York:
John Wiley & Sons.
Mishra, Satish Chandra. 1999. “Government and Governance: Understanding
The Political Economy of The Reform of Institutions”. Paper presented to
the LPEM/USAID Conference “ The Economic Issues Facing The New
Government”. Jakarta. August 18.
Shah, Anwar. 1997. Balance, Accountability, and Responsiveness: Lesson
about Decentralization. The World Bank.
Syaukani, H, Afan Gaffar dan Ryaas Rasyid. 2003. Otonomi Daerah dalam
Negara Kesatuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan PUSKAP.
Yuwono, Teguh (ed.). 2001. Manajemen Otonomi Daerah: Membangun Daerah
Berdasar Paradigma Baru. Semarang: CLOGAPPS Diponegoro
University.

Akses Yan Kes Yang Berkualitas


PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN YANG BERKUALITAS

Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 H ayat (1) dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Pembangunan kesehatan harus dipandang sebagai suatu investasi untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia, yang antara lain diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dalam pengukuran IPM, kesehatan adalah salah satu komponen utama selain pendidikan dan pendapatan. Kesehatan juga merupakan investasi untuk mendukung pembangunan ekonomi serta memiliki peran penting dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan dibutuhkan perubahan cara pandang (mindset) dari paradigma sakit ke paradigma sehat, sejalan dengan visi Indonesia Sehat 2010.
Indonesia telah mengalami kemajuan penting dalam meningkatkan kualitas kesehatan penduduk. Data Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukkan angka kematian bayi menurun dari 46 (SDKI 1997) menjadi 35 per 1.000 kelahiran hidup (SDKI 2002-2003) dan angka kematian ibu melahirkan menurun dari 334 (SDKI 1997) menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI 2002-2003). Umur harapan hidup meningkat dari 65,8 tahun (Susenas 1999) menjadi 66,2 tahun (Susenas 2003). Menurut Survey Konsumsi Garam Yodium yang juga mencakup survei status gizi, prevalensi gizi kurang (underweight) pada anak balita, telah menurun dari 34,4 persen (1999) menjadi 25,8 persen (2002). Namun demikian, dalam upaya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas, beberapa masalah dan tantangan baru muncul sebagai akibat dari perubahan sosial ekonomi serta perubahan lingkungan strategis global dan nasional. Tantangan global antara lain adalah pencapaian sasaran Millennium Development Goals (MDGs), sedangkan pada lingkup nasional adalah penerapan desentralisasi bidang kesehatan.
A. PERMASALAHAN
Disparitas status kesehatan. Meskipun secara nasional kualitas kesehatan masyarakat telah meningkat, akan tetapi disparitas status kesehatan antar tingkat sosial ekonomi, antar kawasan, dan antar perkotaan-perdesaan masih cukup tinggi. Angka kematian bayi dan angka kematian balita pada golongan termiskin hampir empat kali lebih tinggi dari golongan terkaya. Selain itu, angka kematian bayi dan angka kematian ibu melahirkan lebih tinggi di daerah perdesaan, di kawasan timur Indonesia, serta pada penduduk dengan tingkat pendidikan rendah. Persentase anak balita yang berstatus gizi kurang dan buruk di daerah perdesaan lebih tinggi dibandingkan daerah perkotaan. Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih dan cakupan imunisasi pada golongan miskin lebih rendah dibanding dengan golongan kaya.
Beban ganda penyakit. Pola penyakit yang diderita oleh masyarakat sebagian besar adalah penyakit infeksi menular seperti tuberkulosis paru, infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), malaria, diare, dan penyakit kulit. Namun demikian, pada waktu yang bersamaan terjadi peningkatan penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, serta diabetes mellitus dan kanker. Selain itu Indonesia juga menghadapi emerging diseases seperti demam berdarah dengue
Bagian IV.28 – 1
(DBD), HIV/AIDS, chikunguya, Severe Acute Respiratory Syndrom (SARS). Dengan demikian telah terjadi transisi epidemiologi sehingga Indonesia menghadapi beban ganda pada waktu yang bersamaan (double burdens). Terjadinya beban ganda yang disertai dengan meningkatnya jumlah penduduk, serta perubahan struktur umur penduduk yang ditandai dengan meningkatnya penduduk usia produktif dan usia lanjut, akan berpengaruh terhadap jumlah dan jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat di masa datang.
Kinerja pelayanan kesehatan yang rendah. Faktor utama penyebab tingginya angka kematian bayi di Indonesia sebenarnya dapat dicegah dengan intervensi yang dapat terjangkau dan sederhana. Oleh karena itu kinerja pelayanan kesehatan merupakan salah satu faktor penting dalam upaya peningkatan kualitas kesehatan penduduk. Masih rendahnya kinerja pelayanan kesehatan dapat dilihat dari beberapa indikator, seperti proporsi pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, proporsi bayi yang mendapatkan imunisasi campak, dan proporsi penemuan kasus (Case Detection Rate) tuberkulosis paru. Pada tahun 2002, cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan baru mencapai 66,7 persen, dengan variasi antara 34,0 persen di Propinsi Sulawesi Tenggara dan 97,1 persen di Propinsi DKI Jakarta. Pada tahun 2002, cakupan imunisasi campak untuk anak umur 12-23 bulan baru mencapai 71,6 persen, dengan variasi antara 44,1 persen di Propinsi Banten dan 91,1 persen di Propinsi D.I. Yogyakarta. Sedangkan proporsi penemuan kasus penderita tuberkulosis paru pada tahun 2002 baru mencapai 29 persen.
Perilaku masyarakat yang kurang mendukung pola hidup bersih dan sehat. Perilaku hidup bersih dan sehat masyarakat merupakan salah satu faktor penting untuk mendukung peningkatan status kesehatan penduduk. Perilaku masyarakat yang tidak sehat dapat dilihat dari kebiasaan merokok, rendahnya pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif, tingginya prevalensi gizi kurang dan gizi lebih pada anak balita, serta kecenderungan meningkatnya jumlah penderita HIV/AIDS, penderita penyalahgunaan narkotika, psikotropika, zat adiktif (NAPZA) dan kematian akibat kecelakaan. Proporsi penduduk dewasa yang merokok sebesar 31,8 persen. Sementara itu, proporsi penduduk perokok yang mulai merokok pada usia di bawah 20 tahun meningkat dari 60 persen (1995) menjadi 68 persen (2001). Pada tahun 2002, persentase bayi usia 4-5 bulan yang memperoleh ASI eksklusif baru mencapai 13,9 persen. Persentase gizi kurang pada anak balita 25,8 persen (2002) sementara gizi-lebih mencapai 2,8 persen (2003). Penderita AIDS pada tahun 2004 tercatat sebanyak 2.363 orang dan HIV sebanyak 3.338 orang, sedangkan penderita akibat penyalahgunaan NAPZA meningkat dari sekitar 44,5 ribu orang (2002) menjadi 52,5 ribu orang (2003). Kecelakaan termasuk sepuluh besar penyebab kematian umum, yaitu penyebab ke-8 pada tahun 1995 dan meningkat menjadi penyebab ke-6 tahun 2001.
Rendahnya kondisi kesehatan lingkungan. Salah satu faktor penting lainnya yang berpengaruh terhadap derajat kesehatan masyarakat adalah kondisi lingkungan yang tercermin antara lain dari akses masyarakat terhadap air bersih dan sanitasi dasar. Pada tahun 2002, persentase rumah tangga yang mempunyai akses terhadap air yang layak untuk dikonsumsi baru mencapai 50 persen, dan akses rumah tangga terhadap sanitasi dasar baru mencapai 63,5 persen. Kesehatan lingkungan yang merupakan kegiatan lintas-sektor belum dikelola dalam suatu sistem kesehatan kewilayahan.
Rendahnya kualitas, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan. Pada tahun 2002, rata-rata setiap 100.000 penduduk baru dapat dilayani oleh 3,5 puskesmas. Selain jumlahnya yang kurang, kualitas, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan di puskesmas masih menjadi kendala. Pada tahun 2003 terdapat 1.179 Rumah Sakit (RS), terdiri dari 598 RS milik pemerintah dan 581 RS milik swasta. Jumlah seluruh tempat tidur (TT) di RS sebanyak 127.217 TT atau rata-rata 61 TT melayani 100.000 penduduk. Walaupun rumah sakit terdapat di hampir semua kabupaten/kota, namun kualitas pelayanan sebagian besar RS pada umumnya masih di bawah
Bagian IV.28 – 2
standar. Pelayanan kesehatan rujukan belum optimal dan belum memenuhi harapan masyarakat. Masyarakat merasa kurang puas dengan mutu pelayanan rumah sakit dan puskesmas, karena lambatnya pelayanan, kesulitan administrasi dan lamanya waktu tunggu. Perlindungan masyarakat di bidang obat dan makanan masih rendah. Dalam era perdagangan bebas, kondisi kesehatan masyarakat semakin rentan akibat meningkatnya kemungkinan konsumsi obat dan makanan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan keamanan.
Terbatasnya tenaga kesehatan dan distribusi tidak merata. Indonesia mengalami kekurangan pada hampir semua jenis tenaga kesehatan yang diperlukan. Pada tahun 2001, diperkirakan per 100.000 penduduk baru dapat dilayani oleh 7,7 dokter umum, 2,7 dokter gigi, 3,0 dokter spesialis, dan 8,0 bidan. Untuk tenaga kesehatan masyarakat, per 100.000 penduduk baru dilayani oleh 0,5 Sarjana Kesehatan Masyarakat, 1,7 apoteker, 6,6 ahli gizi, 0,1 tenaga epidemiologi dan 4,7 tenaga sanitasi (sanitarian). Banyak puskesmas belum memiliki dokter dan tenaga kesehatan masyarakat. Keterbatasan ini diperburuk oleh distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata. Misalnya, lebih dari dua per tiga dokter spesialis berada di Jawa dan Bali. Disparitas rasio dokter umum per 100.000 penduduk antar wilayah juga masih tinggi dan berkisar dari 2,3 di Lampung hingga 28,0 di DI Yogyakarta.
Rendahnya status kesehatan penduduk miskin. Angka kematian bayi pada kelompok termiskin adalah 61 dibandingkan dengan 17 per 1.000 kelahiran hidup pada kelompok terkaya. Penyakit infeksi yang merupakan penyebab kematian utama pada bayi dan anak balita, seperti ISPA, diare, tetanus neonatorum dan penyulit kelahiran, lebih sering terjadi pada penduduk miskin. Penyakit lain yang banyak diderita penduduk miskin adalah penyakit tuberkulosis paru, malaria dan HIV/AIDS. Rendahnya status kesehatan penduduk miskin terutama disebabkan oleh terbatasnya akses terhadap pelayanan kesehatan karena kendala geografis dan kendala biaya (cost barrier). Data SDKI 2002-2003 menunjukkan bahwa sebagian besar (48,7 persen) masalah untuk mendapatkan pelayanan kesehatan adalah karena kendala biaya, jarak dan transportasi. Utilisasi rumah sakit masih didominasi oleh golongan mampu, sedang masyarakat miskin cenderung memanfaatkan pelayanan di puskesmas. Demikian juga persalinan oleh tenaga kesehatan pada penduduk miskin, hanya 39,1 persen dibanding 82,3 persen pada penduduk kaya. Penduduk miskin belum terjangkau oleh sistem jaminan/asuransi kesehatan. Asuransi kesehatan sebagai suatu bentuk sistem jaminan sosial hanya menjangkau 18,74 persen (2001) penduduk, yang sebagian besar di antaranya adalah pegawai negeri dan penduduk mampu. Walaupun Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) telah ditetapkan, pengalaman managed care di berbagai wilayah menunjukkan bahwa keterjangkauan penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan belum cukup terjamin.

B. SASARAN
Sasaran pembangunan kesehatan pada akhir tahun 2009 adalah meningkatnya derajat kesehatan masyarakat melalui peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang antara lain tercermin dari indikator dampak (impact) yaitu:
1. Meningkatnya umur harapan hidup dari 66,2 tahun menjadi 70,6 tahun;
2. Menurunnya angka kematian bayi dari 35 menjadi 26 per 1.000 kelahiran hidup;
3. Menurunnya angka kematian ibu melahirkan dari 307 menjadi 226 per 100.000 kelahiran hidup; dan
4. Menurunnya prevalensi gizi kurang pada anak balita dari 25,8 persen menjadi 20,0 persen.
Bagian IV.28 – 3

C. ARAH KEBIJAKAN
Untuk mencapai sasaran tersebut, kebijakan pembangunan kesehatan terutama diarahkan pada : (1) Peningkatan jumlah, jaringan dan kualitas puskesmas; (2) Peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan; (3) Pengembangan sistem jaminan kesehatan terutama bagi penduduk miskin; (4) Peningkatan sosialisasi kesehatan lingkungan dan pola hidup sehat; (5) Peningkatan pendidikan kesehatan pada masyarakat sejak usia dini; dan (6) Pemerataan dan peningkatan kualitas fasilitas kesehatan dasar.
Pembangunan kesehatan memprioritaskan upaya promotif dan preventif yang dipadukan secara seimbang dengan upaya kuratif dan rehabilitatif. Perhatian khusus diberikan kepada pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin, daerah tertinggal dan daerah bencana, dengan memperhatikan kesetaraan gender.

D. PROGRAM PEMBANGUNAN
Arah kebijakan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat tersebut dijabarkan dalam program-program pembangunan sebagai berikut.

1. PROGRAM PROMOSI KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Program ini ditujukan untuk memberdayakan individu, keluarga, dan masyarakat agar mampu menumbuhkan perilaku hidup sehat dan mengembangkan upaya kesehatan bersumber masyarakat.
Kegiatan pokok yang dilaksanakan dalam program ini antara lain meliputi:
1. Pengembangan media promosi kesehatan dan teknologi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE);
2. Pengembangan upaya kesehatan bersumber masyarakat, (seperti pos pelayanan terpadu, pondok bersalin desa, dan usaha kesehatan sekolah) dan generasi muda; dan
3. Peningkatan pendidikan kesehatan kepada masyarakat.

2. PROGRAM LINGKUNGAN SEHAT
Program ini ditujukan untuk mewujudkan mutu lingkungan hidup yang lebih sehat melalui pengembangan sistem kesehatan kewilayahan untuk menggerakkan pembangunan lintas-sektor berwawasan kesehatan.
Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini antara lain meliputi:
1. Penyediaan sarana air bersih dan sanitasi dasar;
2. Pemeliharaan dan pengawasan kualitas lingkungan;
3. Pengendalian dampak resiko pencemaran lingkungan; dan
4. Pengembangan wilayah sehat.

3. PROGRAM UPAYA KESEHATAN MASYARAKAT
Program ini ditujukan untuk meningkatkan jumlah, pemerataan, dan kualitas pelayanan kesehatan melalui puskesmas dan jaringannya meliputi puskesmas pembantu, puskesmas keliling dan bidan di desa.
Bagian IV.28 – 4
Kegiatan pokok yang dilaksanakan dalam program ini antara lain meliputi:
1. Pelayanan kesehatan penduduk miskin di puskesmas dan jaringannya;
2. Pengadaan, peningkatan, dan perbaikan sarana dan prasarana puskesmas dan jaringannya;
3. Pengadaan peralatan dan perbekalan kesehatan termasuk obat generik esensial;
4. Peningkatan pelayanan kesehatan dasar yang mencakup sekurang-kurangnya promosi kesehatan, kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, perbaikan gizi, kesehatan lingkungan, pemberantasan penyakit menular, dan pengobatan dasar; dan
5. Penyediaan biaya operasional dan pemeliharaan.

4. PROGRAM UPAYA KESEHATAN PERORANGAN
Program ini ditujukan untuk meningkatkan akses, keterjangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan perorangan.
Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini antara lain meliputi:
1. Pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin di kelas III rumah sakit;
2. Pembangunan sarana dan prasarana rumah sakit di daerah tertinggal secara selektif;
3. Perbaikan sarana dan prasarana rumah sakit;
4. Pengadaan obat dan perbekalan rumah sakit;
5. Peningkatan pelayanan kesehatan rujukan;
6. Pengembangan pelayanan dokter keluarga;
7. Penyediaan biaya operasional dan pemeliharaan; dan
8. Peningkatan peran serta sektor swasta dalam upaya kesehatan perorangan.

5. PROGRAM PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PENYAKIT
Program ini ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan, kematian dan kecacatan akibat penyakit menular dan penyakit tidak menular. Prioritas penyakit menular yang akan ditanggulangi adalah malaria, demam berdarah dengue, diare, polio, filaria, kusta, tuberkulosis paru, HIV/AIDS, pneumonia, dan penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Prioritas penyakit tidak menular yang ditanggulangi adalah penyakit jantung dan gangguan sirkulasi, diabetes mellitus, dan kanker.
Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini antara lain meliputi:
1. Pencegahan dan penanggulangan faktor resiko;
2. Peningkatan imunisasi;
3. Penemuan dan tatalaksana penderita;
4. Peningkatan surveilens epidemiologi dan penanggulangan wabah; dan
5. Peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan penyakit.

6. PROGRAM PERBAIKAN GIZI MASYARAKAT
Program ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran gizi keluarga dalam upaya meningkatkan status gizi masyarakat terutama pada ibu hamil, bayi dan anak balita.
Bagian IV.28 – 5
Kegiatan pokok yang dilaksanakan dalam program ini antara lain meliputi:
1. Peningkatan pendidikan gizi;
2. Penanggulangan kurang energi protein (KEP), anemia gizi besi, gangguan akibat kurang yodium (GAKY), kurang vitamin A, dan kekurangan zat gizi mikro lainnya;
3. Penanggulangan gizi lebih;
4. Peningkatan surveilens gizi; dan
5. Pemberdayaan masyarakat untuk pencapaian keluarga sadar gizi.
 
7. PROGRAM SUMBER DAYA KESEHATAN
Program ini ditujukan untuk meningkatkan jumlah, mutu dan penyebaran tenaga kesehatan, sesuai dengan kebutuhan pembangunan kesehatan.
Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini antara lain meliputi:
1. Perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan;
2. Peningkatan keterampilan dan profesionalisme tenaga kesehatan melalui pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan;
3. Pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan, terutama untuk pelayanan kesehatan di puskesmas dan jaringannya, serta rumah sakit kabupaten/kota;
4. Pembinaan tenaga kesehatan termasuk pengembangan karir tenaga kesehatan; dan
5. Penyusunan standar kompetensi dan regulasi profesi kesehatan.
 
8. PROGRAM OBAT DAN PERBEKALAN KESEHATAN
Program ini ditujukan untuk menjamin ketersediaan, pemerataan, mutu, keterjangkauan obat dan perbekalan kesehatan termasuk obat tradisional, perbekalan kesehatan rumah tangga, dan kosmetika.
Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini antara lain meliputi:
1. Peningkatan ketersediaan obat dan perbekalan kesehatan;
2. Peningkatan pemerataan obat dan perbekalan kesehatan;
3. Peningkatan mutu penggunaan obat dan perbekalan kesehatan;
4. Peningkatan keterjangkauan harga obat dan perbekalan kesehatan terutama untuk penduduk miskin; dan
5. Peningkatan mutu pelayanan farmasi komunitas dan rumah sakit.
 
9. PROGRAM PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN
Program ini ditujukan untuk menjamin terpenuhinya persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan/khasiat produk terapetik/obat, perbekalan kesehatan rumah tangga, obat tradisional, kosmetika, produk komplemen dan produk pangan dalam rangka perlindungan konsumen/masyarakat.
Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini antara lain meliputi:
1. Peningkatan pengawasan keamanan pangan dan bahan berbahaya;
2. Peningkatan pengawasan penyalahgunaan narkotika, psikotropika, zat adiktif (NAPZA);
3. Peningkatan pengawasan mutu, khasiat dan keamanan produk terapetik/obat, perbekalan kesehatan rumah tangga, obat tradisional, suplemen makanan dan produk kosmetika; dan
4. Penguatan kapasitas laboratorium pengawasan obat dan makanan.
Bagian IV.28 – 6
Bagian IV.28 – 7
 
10. PROGRAM PENGEMBANGAN OBAT ASLI INDONESIA
Program ini ditujukan untuk meningkatkan pemanfaatan tanaman obat Indonesia.
Kegiatan pokok yang dilaksanakan dalam program ini antara lain meliputi:
1. Penelitian dan pengembangan tanaman obat;
2. Peningkatan promosi pemanfaatan obat bahan alam Indonesia; dan
3. Pengembangan standardisasi tanaman obat bahan alam Indonesia.
 
11. PROGRAM KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN PEMBANGUNAN KESEHATAN
Program ini ditujukan untuk mengembangkan kebijakan dan manajemen pembangunan kesehatan guna mendukung penyelenggaraan sistem kesehatan nasional.
Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program antara lain meliputi:
1. Pengkajian dan penyusunan kebijakan;
2. Pengembangan sistem perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan dan pengendalian, pengawasan dan penyempurnaan administrasi keuangan, serta hukum kesehatan;
3. Pengembangan sistem informasi kesehatan;
4. Pengembangan sistem kesehatan daerah; dan
5. Peningkatan jaminan pembiayaan kesehatan masyarakat secara kapitasi dan pra upaya terutama bagi penduduk miskin yang berkelanjutan.
 
12. PROGRAM PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN
Program ini ditujukan untuk meningkatkan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan sebagai masukan dalam perumusan kebijakan dan program pembangunan kesehatan.
Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini antara lain meliputi:
1. Penelitian dan pengembangan;
2. Pengembangan tenaga peneliti, sarana dan prasarana penelitian; dan
3. Penyebarluasan dan pemanfaatan hasil penelitian dan pengembangan kesehatan.

Pengorganisasian dan Pengembangan masyarakat

"PENGORGANISASIAN DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT"
Pendahuluan :

Mata ajaran "Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat" (selanjutnya akan disingkat sebagai PPM) diberikan oleh Jurusan Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku FKMUI sejak tahun 1976. Semula merupakan mata ajaran yang diberikan hanya untuk peminatan (dulu dikenal sebagai program majoring) Pendidikan Kesehatan. Pada perkembangan selanjutnya, setelah penataan kurikulum dalam strata 1 dan strata 2 maka mata ajaran ini menjadi mata ajaran wajib bagi program studi jenjang DIII dan S1, mata ajaran wajib peminatan PKIP program studi S2 Kesehatan Masyarakat dan mata ajaran pilihan bagi peminatan lain pada program studi S2 Kesehatan Masyarakat.
Pembahasan ini dilakukan oleh Jurusan PKIP karena PPM dilihat sebagai salah satu “tehnologi” dalam kegiatan Pendidikan Kesehatan untuk mengorganisasi dan mengembangkan masyarakat sehingga terjadi perubahan perilaku sasaran (dalam bentuk kemampuan untuk mandiri atau self help) yang sifatnya berkelanjutan untuk tercapainya derajat kesehatan yang lebih baik.

Kedudukan dan peran PPM dalam "disiplin keilmuan" PKIP :

Minat pokok "disiplin keilmuan" PKIP dalam konteks kesehatan masyarakat adalah masalah perubahan perilaku kesehatan. Minat pokok ini yang menjadi ciri khas PKIP yang membedakannya dari "disiplin keilmuan" lain di bidang kesehatan masyarakat. "Disiplin keilmuan" Epidemiologi misalnya mempunyai minat pokok pada hal hal yang berkaitan dengan pola distribusi dan penyebaran penyakit, "disiplin keilmuan" Kesehatan Lingkungan mempunyai minat pokok pada hal hal yang berkaitan dengan lingkungan/ekologi dan demikian juga dengan "disiplin disiplin keilmuan" lainnya seperti Kependudukan dan Administrasi Kesehatan yang masing masing mempunyai minat pokok yang menjadi cirinya masing masing.
Dengan titik tolak pada minat pokoknya mengenai hal hal yang berkaitan dengan proses perubahan perilaku, dengan menggunakan kerangka yang dikembangkan oleh Lawrence Green, PPM merupakan tehnologi yang digunakan untuk melakukan intervensi pada faktor pendukung (enabling factors) sebagai salah satu prasyarat untuk terjadinya proses perubahan perilaku. Dengan tehnologi PPM dilakukan pengorganisasian dan pengembangan sumber daya yang ada pada masyarakat sehingga mampu mandiri untuk meningkatkan derajat kesehatannya.

Tujuan Pendidikan :

Tujuan umum dari mata ajaran ini adalah (1) diperolehnya pemahaman tentang pentingnya peran serta masyarakat dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan (2) diperolehnya kemampuan untuk mengorganisasi dan mengembangkan masyarakat untuk menumbuhkan upaya kesehatan masyarakat yang mandiri dan berkelanjutan.

Ruang lingkup materi dan pokok pokok bahasan PPM :

1. Peristilahan PPM :

Penggunaan istilah PPM diambil dari konsep Pengorganisasian Masyarakat (Community Organization) dan Pengembangan Masyarakat (Community Development). Istilah yang "berbeda" tersebut terutama lebih disebabkan oleh sumber rujukan yang berbeda.
Community Organization terutama lebih banyak muncul dalam kepustakaan yang berasal dari atau berkiblat pada Amerika Serikat sedangkan Community Development" lebih banyak ditemukan dalam kepustakaan yang berasal atau berkiblat dari Inggris. Meskipun "nama"nya berbeda, tetapi isi dan konsepnya adalah sama. Keduanya berorientasi pada proses menuju tercapainya kemandirian melalui keterlibatan atau peran serta aktif dari keseluruhan anggota masyarakat. Mengingat kesamaan konsep tersebut, maka dalam kurikulum FKMUI materi bahasan ini disebut sebagai mata ajaran "Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat".

2. Kedudukan kelompok sasaran sebagai subyek dan obyek :

Dalam pokok bahasan ini dibicarakan tentang kedudukan masyarakat sebagai subyek sekaligus obyek kegiatan pembangunan (kesehatan). Ini dikaitkan dengan pandangan tentang hakekat manusia yang bersifat psiko-analitik, humanistik dan behavioristik. Dalam kaitan ini juga dibahas perkembangan pendekatan dalam program kesehatan masyarakat dimana terjadi pergeseran dari pendekatan yang bersifat doing things to and for people menjadi doing things with people. Dalam menempatkan kelompok sasaran sebagai subyek kegiatan, dibahas juga tentang konsep "piring terbang", dimana upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama dilihat sebagai upaya peningkatan dinamika mereka sendiri yang terwujudkan dalam efek "tinggal landas" (upward spirall movement). Intervensi luar dalam konsep ini harus menyesuaikan diri dengan kecepatan perputaran "piringan" dinamika masyarakat yang ada agar tidak timbul kegoncangan masyarakat.

3. Pengalaman belajar :

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tujuan yang ingin dicapai oleh PPM adalah diperolehnya kemandirian masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatan. Untuk mencapai tujuan ini maka kegiatan kegiatan yang dilakukan dalam upaya PPM harus diarahkan pada diperolehnya pengalaman belajar dari kelompok sasaran. Akumulasi dari pengalaman belajar yang diperoleh secara bertahap ini kemudian akan menghasilkan kemampuan menolong diri sendiri dalam meningkatkan derajat kesehatannya.
Dalam bahasan ini dibicarakan tentang tiga situasi belajar dalam masyarakat, yaitu required outcome situation, recommended outcome situation dan self directed outcome situation.

4. Keterlibatan dan partisipasi/peran serta :

Dalam upaya untuk secara optimal memaparkan kelompok sasaran pada berbagai pengalaman belajar, maka keterlibatan kelompok sasaran merupakan suatu prasyarat penting (atau bahkan mutlak). Hal ini dikaitkan dengan Hukum Partisipasi seperti yang dikemukakan oleh Haggard, bahwa pengalaman belajar yang diperoleh kelompok sasaran akan meningkat dan lebih menetap jika kelompok sasaran dilibatkan dalam proses belajar.
Pembahasan mengenai partisipasi dilakukan dengan merujuk pada berbagai pengertian tentang partisipasi. Berbagai pengertian partisipasi ini dapat dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu pengertian partisipasi sebagai hak dan pengertian partisipasi sebagai kewajiban. Jika sebelumnya partisipasi dikaitkan dengan proses belajar, maka konsep dasar partisipasi sebetulnya juga erat kaitannya dengan kesediaan untuk berbagi kekuasaan (sharing of power). Dalam tinjauan ini maka dicoba dibahas tentang permasalahan yang
muncul sehubungan dengan upaya melibatkan kelompok sasaran dalam upaya kesehatan dari segi sharing of power.

5. Pendekatan direktif dan non direktif :

Dalam aplikasinya di masyarakat, upaya untuk melibatkan kelompok sasaran dihadapkan pada kenyataan bahwa situasi dan kondisi masyarakat yang berbeda beda. Sikon yang berbeda beda ini dapat dilihat sebagai suatu kendala dalam melibatkan sasaran secara aktif atau sebagai suatu kondisi yang memang harus dirubah. Disini dibahas tentang penerapan dari pendekatan direktif dan non direktif (directive and non directive approach) seperti yang diuraikan oleh T.R. Batten.
Secara realistis pragmatis, maka sikon masyarakat yang berbeda beda dalam upaya melibatkan masyarakat secara aktif, memang memerlukan pendekatan yang berbeda beda pula. Masyarakat yang lebih siap dapat dibina dengan pendekatan yang non direktif sedangkan masyarakat yang belum siap dapat mulai dibina dengan pendekatan yang direktif.
Meskipun demikian, aplikasi hal ini harus dengan disertai suatu kesadaran bahwa tujuan akhir adalah diperolehnya kemandirian dan oleh karena itu secara bertahap sesuai dengan kesiapan masyarakat perlu ditingkatkan pendekatan yang non direktif.

Pada masyarakat yang masih belum siap (1), maka pendekatan direktif dapat dipertimbangkanuntuk diterapkan sebagai awal tetapi kemudian secara bertahap dikurangi dan diikuti dengan peningkatan pendekatan yang sifatnya non-direktif (2 dan 3).

6. Pentahapan PPM :

Berdasarkan berbagai rujukan mengenai konsep PPM maka dibahas tentang tahapan yang perlu dilakukan dalam mengorganisasi dan mengembangkan masyarakat. Pentahapan dalam PPM dilandasi pada pemikiran bahwa proses belajar berlangsung secara bertahap yang disesuaikan dengan sikon kelompok sasaran. Pentahapan ini sekaligus menggambarkan proses pendelegasian wewenang dari petugas kepada kelompok sasaran. Dalam proses pendelegasian wewenang ini maka secara bertahap kelompok sasaran disiapkan agar mampu mandiri. Pentahapan juga bisa dilihat dari segi keterlibatan kelompok sasaran dalam daur pemecahan masalah. Keterlibatan yang semula lebih banyak pada kegiatan yang bersifat pelaksanaan, secara bertahap ditingkatkan untuk terlibat pada kegiatan yang lebih canggih seperti misalnya pemantauan kegiatan, perencanaan dan penilaian.

Tahap Peran Petugas Peran Masyarakat

(1). Persiapan Petugas +++++
a. Dinamisasi kelompok +++++
b. Pendekatan pada pejabat/sektoral +++++
c. Penyiapan lapangan +++++
(2). Persiapan Sosial
a. Pengenalan masyarakat ++++ +
b. Pengenalan masalah +++ ++
c. Penyadaran +++ ++
(3). Penyusunan Rencana ++ +++
(4). Pelaksanaan ++ +++
(5). Pemantauan dan penilaian ++ +++
(6). Perluasan + ++++

Dikaitkan dengan konsep Pendekatan Edukatif, maka pentahapan PPM diatas sejalan dengan konsep yang dituangkan dalam Pendekatan Edukatif.

7. Konsep gotong royong :

Prinsip keterlibatan masyarakat dalam upaya kesehatan sebetulnya mempunyai akar dalam tradisi gotong royong. Pembahasan masalah gotong royong ini terutama merujuk pada tulisan dari Koentjaraningrat yang membahas konsep gotong royong dikaitkan dengan kegiatan pembangunan. Bahasan ini memperlihatkan bahwa konsep gotong royong erat kaitannya dengan konsep kelompok primer dan sekunder. Gotong royong lebih sesuai dikembangkan dalam kelompok primer yang mempunyai kesempatan untuk berkomunikasi secara lebih intensif dibandingkan dengan kelompok sekunder. Hal ini dikaitkan dengan masalah penerapan gotong royong di pedesaan dan perkotaan. Posisi yang diambil dalam bahasan ini adalah dikaitkan dengan sifat kelompok seperti disebutkan diatas, bahwa penerapan gotong royong lebih dikaitkan dengan sifat kelompok. Oleh karena itu di perkotaan pun bisa diterapkan gotong royong dengan bentuk yang berbeda dengan penerapannya di pedesaan.

8. Penerapan dalam bidang kesehatan :

Dalam bidang kesehatan maka pembahasan mengenai penerapan PPM dikaitkan dengan pelaksanaan program PKMD/Posyandu termasuk hal hal yang berkaitan dengan pembinaan kader kesehatan (oleh karena itu pula lah mata ajaran ini disebut juga sebagai mata ajaran PKMD). Juga dalam kaitan dengan penerapan PPM dalam program kesehatan ini dibahas kebijakan mengenai keterpaduan KB Kesehatan dan pola pembinaan peran serta masyarakat dari Direktorat Bina Peran Serta Masyarakat.

9. Bahasan dari konsep difusi inovasi :

Keterlibatan masyarakat melalui kader kader kesehatan dalam upaya kesehatan dapat dipersepsi oleh masyarakat sebagai hal baru. Hal ini dikaitkan dengan pola pemikiran yang "tradisional" bahwa pelayanan kesehatan (dalam arti yang modern) merupakan "hak prerogatif" profesi kesehatan. Dari pemikiran ini dapat dimengerti jika konsep keterlibatan kader kesehatan dalam upaya kesehatan bisa dianggap sebagai sesuatu yang baru.
Dengan titik tolak ini, maka penyebaran ide PKMD atau Posyandu bisa dianalisis dengan menggunakan kerangka teori difusi inovasi dari Everett Rogers. Dibahas disini misalnya faktor faktor yang mempengaruhi kecepatan difusi, proses adopsi, kader sebagai tenaga quasi professional dan strategi komunikasi yang disesuaikan dengan pentahapan proses adopsi.

10. Lembaga Swadaya Masyarakat (Non governmental Organization/NGO)

Dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan, maka selain aparat pemerintah (governmental organization) juga terlibat berbagai organisasi non pemerintah (non- governmental organization). Organisasi non pemerintah ini merupakan wadah dari sekumpulan orang yang ingin ikut berkontribusi dalam upaya pembangunan. Dalam beberapa kegiatan bahkan organisasi non pemerintah inilah yang menjadi pionir, seperti misalnya PKBI
dalam kegiatan keluarga berencana.
Dalam kontribusinya pada kegiatan pembangunan, organisasi non pemerintahmempunyai keunikan misalnya dalam kemampuannya untuk lebih menerapkan pendekatan
 yang partisipatif. Hal ini disebabkan antara lain karena sifat organisasi non pemerintah yang tidak terlalu birokratis, sehingga mempunyai kemampuan untuk membuat penyesuaian dengan situasi dan kondisi. Dalam pembahasan mengenai organisasi non pemerintah ini akan dibahas mengenai ruang lingkup dan peran organisasi non pemerintah, potensinya dan kegiatan kegiatannya.


HAKEKAT MANUSIA

Apakah manusia itu? Apakah beda antara manusia dan bina¬tang? Hal hal apakah yang secara hakiki menggerakkan manusia sehingga memiliki keberadaan sebagaimana adanya itu? Pertanyaan pertanyaan ini perlu dijawab dalam rangka mengetahui hakekat manusia sebagai subyek dan obyek pendidikan.

Beberapa pandangan tentang hakekat manusia disebutkan secara ringkas dibawah ini.

I. Pandangan Psikoanalitik

Kaum psikoanalis tradisional (dalam Hansen dan Warner, 1977) menganggap bahwa manusia pada dasarnya digerakkan oleh dorongan dorongan dari dalam dirinya yang bersifat instinktif. Tingkah laku individu ditentukan dan dikontrol oleh kekuatan psikologis yang sejak
semula memang sudah ada pada diri individu itu. Dalam hal ini individu tidak memegang kendali atas "nasibnya" sendiri, tetapi tingkah lakunya itu semata mata diarahkan untuk memuaskan kebutuhan dan instink biologisnya. Freud mengemukakan bahwa struktur kepribadian individu terdiri dari tiga komponen yang disebut : id, ego dan super ego. Id meliputi berbagai instink manusia yang mendasari perkembangan individu. Dua instink yang paling penting ialah instink seksual dan instink agresi. Instink instink ini menggerakkan individu untuk hidup didalam dunianya dengan prinsip pemuasan diri. Demikian fungsi id, yaitu mendorong individu untuk memuaskan kebutuhan dirinya setiap saat sepanjang hidup individu. Id yang tak kunjung padam menggerakkan individu itu ternyata tidak dapat leluasa menjalankan fungsinya, sebab ia harus menghadapi lingkungan. Lingkungan ini tidak dapat diterobos begitu saja sehingga individu mempertimbangkan apa yang berada diluar dirinya itu apabila dia ingin berhasil dalam penyaluran instink instinknya itu. Dalam hal ini tumbuhlah apa yang disebut ego, yaitu fungsi kepribadian yang menjembatani id dan dunia luar individu. Ego
ini berfungsi atas dasar prinsip realitas, mengatur gerak gerik id agar dalam memuaskan instinknya selalu memperhatikan lingkungan.Dengan demikian perwujudan fungsi id itu menjadi tidak tanpa arah.

Dalam perkembangannya lebih lanjut, tingkah laku individu tidak hanya dijalankan oleh fungsi id dan ego saja, melainkan juga oleh fungsi yang ketiga, yaitu super ego. Super ego tumbuh berkat interaksi antara individu dengan lingkungannya, khususnya lingkungan yang bersifat aturan (yang meliputi perintah dan larangan, ganjaran dan hukuman), nilai, moral, adat, dan tradisi.
Dalam individu bertingkah laku, id sebagai penggerak, ego sebagai pengatur dan pengarah, dan super ego sebagai pengawas atau peng ontrol. Dalam hal ini fungsi super ego ialah mengawasi agar tingkahlaku individu sesuai dengan aturan, nilai, moral, adat dan tradisi yang telah meresap pada diri individu itu. Super ego merupakan fungsi kontrol dari dalam individu itu.
Demikianlah dinamika kepribadian individu berpusat pada interaksi antara id, ego dan super ego. Dalam interaksi ini ego menduduki peranan perantara, yaitu antara id dengan lingkungan, dan antara id dengan super ego. Peranan ego dalam menjembatani id dan lingkungan telah disinggung di atas. Sedangkan peranan ego dalam menjembatani id dan super ego dapat dilihat dalam kaitannya dengan kecenderungan individu untuk berada dua ekstrim : individu yang didominasi oleh id nya sehingga tingkah lakunya menjadi impulsif dan
individu yang didominasi oleh super egonya sehingga tingkah lakunya menjadi terlalu moralstik. Peranan ego ialah menjaga agar individu tidak terjerumus pada salah satu ekstrim itu, tetapi selalu berada diantara keduanya.
Pandangan psikoanalitik yang ditokohi oleh Freud itu tumbuh sejak lebih 80 tahun yang lalu. Dari pandangan yang tradisional seperti digambarkan diatas berkembanglah paham yang disebut paham neo analitik. Paham ini berpendapat bahwa manusia hendaknya tidak secara mudah saja dianggap sebagai binatang yang digerakkan oleh tenaga dalam (innate energy) yang ada pada dirinya; tingkah laku manusia itu banyak yang terlepas dari atau dapat disangkutkan pada dorongan dari dalam itu. Manusia mewujudkan dialam dunia dengan kemampuan untuk menanggapi (me respons) berbagai jenis perangsang, dan perwujudan diri ini hanya sebagian saja yang dapat dianggap sebagai hasil "tenaga dalam" itu. Pada masa bayi yang paling awal, manusia memang menanggapi dunia dengan instink instinknya untuk memenuhi kebutuhannya, misalnya lapar. Namun tingkah laku instinktif ini segera berkurang sejak manusia yang masih sangat muda itu mulai mengembangkan pola bertingkah laku yang didasarkan pada rangsangan dari lingkungannya. Setelah dewasa, tingkah laku individu

sebagian terbesar berkaitan dengan hal hal yang datang dari lingkungannya dan sangat sedikit yang berkaitan dengan instink.
Kaum neo analis pada dasarnya masih mengakui adanya id, ego dan super ego namun menekankan pentingnya ego sebagai pusat kepribadian individu. Ego tidak dipandang hanya sebagai fungsi pengarah perwujudan id saja, melainkan sebagai fungsi pokok yang bersifat rasional dan bertanggung jawab atas tingkah laku intelektual dan soaial individu.

II. Pandangan Humanistik

Pandangan humanistik tentang manusia (dalam Hansen, dkk, 1977) menola pandangan Freud bahwa manusia pada dasarnya tidak rasional, tidak tersosialisasikan, dan tidak memiliki kontrol terhadap "nasib" dirinya sendiri. Sebaliknya Rogers yang menokohi pandangan humanistik, berpendapat bahwa manusia itu memiliki dorongan untuk mengarahkan dirinya ke tujuan yang positif, manusia itu rasional, tersosialisasikan dan untuk
berbagai hal dapat menentukan "nasibnya" sendiri. Ini berarti bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengarahkan, mengatur dan mengontrol diri sendiri. Jika individu itu akan mengarahkan dirinya untuk menjadi pribadi yang lebih maju dan positif; dengan demikian individu itu akan terbebas dari kecemasan (anxiety) dan menjadi anggota masyarakat yang dapat bertingkah laku secara memuaskan.
Selanjutnya Rogers (1961) mengemukakan gambaran pribadi manusia sebagai aliran atau arus yang terus mengalir tanpa henti, sebagai sesuatu yang tidak pernah selesai. Ini berarti bahwa pribadi individu merupakan proses yang terus berjalan, suatu kesatuan yang tidak statis dan tidak kaku; individu merupakan suatu arus perubahan yang mengalir terus, dan bukan suatu benda yang sudah tidak dapat berubah lagi, individu merupakan suatu kesatuan potensi yang terus menerus berubah, dan bukan suatu kumpulan dari sejumlah bagian yang tetap adanya. Manusia pada hakekatnya dalam proses on becoming tidak pernah selesai,
tidak pernah sempurna.
Pandangan Adler (1954) tentang manusia tergolong ke dalam pandangan humanistik. Manusia tidak semata mata digerakkan oleh dorongan untuk memuaskan dirinya sendiri, namun sebaliknya, manusia digerakkan dalam hidupnya sebagian oleh rasa tanggung jawab sosial dan sebagian lagi oleh kebutuhan untuk mencapai sesuatu. Lebih jauh Adler mengatakan bahwa individu melibatkan dirinya dalam usaha untuk mewujudkan diri sendiri, dalam membantu orang lain, dan dalam membuat dunia ini menjadi lebih baik untuk ditempati.

III. Pandangan Behavioristik

Kaum behavioristik (dalam Hansen, dkk., 1977) pada dasarnya menganggap bahwa manusia sepenuhnya adalah mahluk reaktif yang tingkah lakunya di kontrol oleh faktor faktor yang datang dari luar. Lingkungan adalah penentu tunggal dari tingkah laku manusia
Dengan demikian kepribadian individu dapat dikembalikan semata mata kepadahubungan antara individu dan lingkungannya, hubungan itu diatur oleh hukum hukum belajar,
 seperti teori pembiasaan (conditioning) dan peniruan.
Manusia tidak datang ke dunia ini dengan membawa ciri ciri yang pada dasarnya baik atau jelek, tetapi netral. Hal hal yang mempengaruhi perkembangan kepribadian individu semata mata tergantung pada lingkungannya. Tingkah laku adalah hasil perkembangan individu dan sumber dari hasil ini tidak lain adalah lingkungan.
Pandangan behavioristik sering dikritik sebagai pandangan yang merendahkan derajat manusia (dehumanisasi) karena pandangan ini mengingkari adanya ciri ciri yang amat pentingyang ada pada manusia dan tidak ada pada mesin atau binatang, seperti kemampuan memilih, menetapkan tujuan, mencipta. Dalam menanggapi kritik ini, Skinner (1976) mengatakan bahwa kemampuan kemampuan itu sebenarnya terwujud sebagai tingkah laku juga yang berkembangnya tidak berbeda dari tingkahlahu tingkahlaku lainnya. Justru tingkah laku inilah yang dapat didekati dan dianalisis secara ilmiah dan pendekatan behavioristik adalah pendekatan ilmiah. Semua ciri yang dimiliki oleh manusia harus dapat didekati dan
dianalisis secara ilmiah. Dibandingkan dengan binatang berangkai manusia adalah binatang yang unuk, yaitu binatang yang bernormal, tetapi tidak dapat dikatan bahwa manusia itu memiliki moralitas. Yang disebut sebagai moral itupun mewujud dalam tingkah laku sebagai hasil belajar berkat pengaruh lingkungan. Pendekatan behavioristik tidaklah mendehumanisasikan manusia, melainkan justru men dehomunkulisasikan manusia, yaitu mengatasi kekerdilan manusia. Hanya dalam hubungannya dengan lingkungan yang didekati
secara ilmiahlah kekerdilan manusia dapat diatasi dan harkat ke manusiaan dipertinggi. Setelah mengikuti beberapa pandangan tentang manusia terse¬but di atas dapatlah ditarik beberapa pengertian pokok berikut :
a. Manusia pada dasarnya memiliki "tenaga dalam" yang menggerakan hidupnya untukmemenuhi kebutuhan  kebutuhannya.
b. Dalam diri manusia (i ndividu) ada fungsi yang bersifat rasional yang bertanggung jawabatas tingkah laku intelektual dan sosial individgu.
c. Manusia mampu mengerahkan dirinya ke tujuan yang positif, mampu mengatur danmengontrol dirinya, dan mampu menentukan "nasibnya" sendiri.
d. Manusia pada hakekatnya dalam proses "menjadi", berkembang terus, tidak pernah selesai.
e. Dalam hidupnya individu melibatkan dirinya dalam usaha untuk mewujudkan dirinya sendiri, membantu orang lain, dan membuat dunia lebih baik untuk ditempati.
f. Manusia merupakan suatu keberadaan berpotensi yang perwujudannya merupakan ketakterdugaan. Namun potensi ini terbatas.
g. Manusia adalah mahluk Tuhan yang sekaligus mengandung kemungkinan baik dan jelek.
h. Lingkungan adalah penentu tingkah laku manusia dan tingkah laku ini merupakan kemampuan yang dipelajari.
Pandangan yang menyeluruh tentang manusia seyogyanya tidak hanya menekankan salah satu beberapa aspek saja dari ciri ciri hakiki tersebut diatas. Di Indonesia dikenal pengertian manusia seutuhnya. Menurut Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila setiap manusia mempunyai keinginan untuk mempertahankan hidup dan menjaga kehidupan yang lebih baik. Ini merupakan naluri yang paling kuat dalam diri manusia.
Pancasila sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia memberikan pedoman bahwa kebahagiaan hidup manusia akan tercapai apabila kehidupan manusia akan tercapai apabila kehidupan manusia itu didasarkan dan keseimbangan, baik dalam hidup manusia sebagai pribadi, dalam hubungan manusia dengan masyarakat, dalam hubungan manusia dengan alam, dalam hubungan bangsa dengan bangsa, dan dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, maupun dalam mengajar kemajuan lahiriah dan kebahagiaan rokhaniah.
Pancasila menempatkan manusia dalam keseluruhan harkat dan martabat sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa. Manusialah yang menjadi titik tolak dari usaha kita untuk memahami manusia itu sendiri, manusia dan masyarakatnya, dan manusia dengan segenap lingkungan hidupnya. Adapun manusia yang kita pahami bukanlah manusia juga manusia yang dilekati dengan kelemahan kelemahan, manusia yang di sampaikan
kemampuan kemampuan juga mempunyai keterbatasan ketebatasan manusia yang
disamping mempunya sifat sifat yang baik mempunyai sifat sifat yang kurang baik. Manusia
yang hendak kita pahami bukanlah manusia yang kita tempatkan di luar batas kemampuan
dan kelayakan manusia tadi.
Manusia sebagai mahluk Tuhan adalah mahluk pribadi dan sekaligus mahluk sosial.
Sifat kodrati manusia sebagai individu dan sekaligus sebagai mahluk sosial yang merupakan
kesatuan bulat perlu dikembangkan secara seimbang, selaras dan serasi.
Perlu disadari bahwa manusia hanya mempunyai arti dalam kaitannya dengan manusia
lain dalam masyarakat. Manusia hanya mempunyai arti dan dapat hidup secara layak di antara
manusia lainya. Tanpa manusia lainnya atau tanpa hidup bermasyarakat, seseorang tidak
akan dapat menyelenggarakan hidupnya dengan baik. Dalam mempertahankan hidup dan
usaha mengajar kehidupan yang lebih baik, mustahil hal itu dikerjakan sendiri oleh seseorang
tampa bantuan dan kerjasama dengan orang lain dalam masyarakat.
Kekuatan manusia pada hakekatnya tidak terletak pada kemampuan fisiknya atau
kemampuan jiwanya semata mata melainkan terletak pada kemampuannya untuk
bekerjasama dengan manusia lainnya. Dengan manusia lainnya dalam masyarakat itulah
manusia itu menciptakan kebudayaan yang pada akhirnya membedakan manusia dari
segenap mahluk hidup yang lain, yang mengantarkan umat manusia pada tingkat, mutu,
martabat dan harkatnya sebagaimana manusia yang hidup pada zaman sekarang dan zaman
yang akan datang.

ooo000ooo
PENGORGANISASIAN
DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

Pelaksanaan upaya pembangunan dalam garis besarnya dapat dilaksanakan dengan
menggunakan pendekatan yang bersifat direktif atau pendekatan yang bersifat non direktif.
Pada pendekatan yang bersifat direktif, diambil asumsi bahwa petugas tahu apa yang
dibutuhkan dan apa yang baik untuk masyarakat. Dalam pendekatan ini maka peranan
petugas bersifat lebih dominan karena prakarsa kegiatan dan sumber daya yang dibutuhkan
untuk keperluan pembangunan datang dari petugas. Interaksi yang muncul lebih bersifat
instruktif dan masyarakat dilihat sebagai obyek.
Pada pendekatan yang bersifat non direktif, maka diambil asumsi bahwa masyarakat
tahu apa sebenarnya yang mereka butuhkan dan apa yang baik untuk mereka. Peranan
pokok ada pada masyarakat, se¬dangkan petugas lebih bersifat menggali dan
mengembangkan potensi masyarakat. Prakarsa kegiatan dan sumber daya yang dibutuhkan
berasal dari masyarakat. Sifat interaksi adalah partisipatif dan masyarakat dilihat sebagai
subyek.
Mengingat keragaman dalam potensi masyarakat, diperlukan penyesuaian antara
pendekatan yang dipilih dikaitkan dengan potensi dari masyarakat dimana kegiatan pembangunan itu dilaksa¬nakan. Dalam pilihan pendekatan tersebut harus tetap diingat bahwa upaya pembangunan haruslah merupakan upaya untuk mewujudkan potensi yang dimiliki oleh masyarakat. Hal ini dapat dianalogikan dengan suatu konsep yang disebut konsep piring terbang.
Sesuai dengan hukum mekanika, maka suatu piringan yang berputar akan bergerak
naik jika mengalami peningkatan dalam kecepatan berputarnya dan akan bergerak turun jika
mengalami penurunan dalam kecepatan berputarnya. Potensi masyarakat dapat digambarkan
sebagai energi yang ada dalam sebuah piringan yang berputar. Kecepatan berputar ini
berbeda beda antara satu kelompok masyara¬kat dibandingkan dengan kelompok lainnya.
Perbedaan inilah yang menyebabkan adanya perbedaan ketinggian dari masing masing piring
tersebut. Pada kelompok masyarakat yang sudah berkembang maka energi yang ada sudah
dikembangkan secara optimal sehingga ting¬kat perkembangannya lebih tinggi dibandingkan
dengan kelompok masyarakat lain yang belum berkembang.

Dikaitkan dengan hukum mekanika dalam piring terbang tersebut, maka posisi piring
terbang akan dapat ditingkatkan dengan menam¬bah kecepatan berputarnya. Penambahan
kecepatan ini bisa berasal dari luar maupun dari dalam. Yang penting diperhatikan adalah
penambahan perputaran harus dilakukan pada saat yang tepat dan dengan arah yang sesuai,
jika kita menginginkan terjadinya pen¬ingkatan kedudukan piring terbang tersebut agar naik
lebih tinggi dari posisi semula. Penambahan perputaran yang terjadi secara tiba tiba dapat
menimbulkan kegoncangan dan penambahan percepatan yang tidak sesuai dengan arah
semula justru akan menimbulkan keruntuhan.
Dalam penerapan di lapangan, pilihan antara pendekatan direk¬tif dan non direktif perlu
disesuaikan dengan tingkat perkemban¬gan masyarakatnya. Masyarakat yang sudah mampu mendayagunakan potensi yang dimiliki perlu didekati dengan pendekatan yang non direktif sedangkan masyarakat yang dalam tingkat perkembangan yang lebih awal bisa mulai didekati dengan pendekatan direktif.

Dalam pilihan pendekatan tersebut, arah pengembangan adalah untuk secara bertahap
menuju pendekatan yang lebih partisipatif atau bersifat non direktif meskipun mungkin diawali
dengan pendekatan yang direktif atau instruktif.

Pentahapan PPM :

Apa yang dimaksud dengan pengorganisasian dan pengembangan masyarakat atau
PPM? PPM pada dasarnya adalah suatu proses pengorganisasian kegiatan masyarakat yang
bersifat setempat, yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui
pemberian pengalaman belajar, maka secara bertahap dikembangkan pendekatan yang
bersifat partisipatif dalam bentuk pendelegasian wewenang dan pemberian peran yang
semakin besar kepada masyara¬kat.

Secara keseluruhan terdapat enam tahapan pokok PPM, yaitu : persiapan,
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi serta perluasan. Pada tahap persiapan,
maka dilakukan persiapan yang bersifat intern petugas dan persiapan sosial untuk
masyarakat. Persiapan petugas berupa hal hal yang bersifat tehnis administra¬tif dan yang
bersifat pilihan strategis pendekatan. Pada tahap persiapan sosial, perlu mulai dilakukan
pengenalan masyarakat, pengenalan masalah dan selanjutnya diikuti dengan upaya penyada¬
ran. Pada tahap perencanaan, secara bersama disusun rencana untuk mengatasi masalah
yang dihadapi dan cara cara penerapan rencana tersebut dalam tahap pelaksanaan. Selama
pelaksanaan dilakukan pemantauan secara berkala dan kemudian dilakukan eva¬luasi untuk
melihat pencapaian tujuan. Dari hasil pelaksanaan dan evaluasi tahap berikutnya adalah
perluasan kegiatan, baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif.
Dalam keseluruhan tahapan maka terdapat pembagian peran yang berbeda beda
antara petugas dan masyarakat. Pada tahap awal, petugas mempunyai peranan yang lebih
dominan tetapi secara berta¬hap dilakukan pendelegasian wewenang dan pengembangan
peran yang lebih besar kepada masyarakat, sehingga akhirnya peran utama selanjutnya
dipegang oleh masyarakat dan peran petugas lebih bersifat konsultatif.

Bentuk bentuk pengalaman belajar :

Situasi belajar yang dialami masyarakat pada dasarnya dibe¬dakan dalam tiga bentuk :

a. Required outcome situation (situasi belajar yang diwajibkan) : disini situasi belajar yang
terjadi adalah dalam bentuk "kewajiban" atau "instruktif" dimana petugas mengharuskan masyarakat untuk berperilaku tertentu dan petugas mampunyai wewenang untuk memberikan sanksi atas pelangga¬ran terhadap instruksinya. Situasi ini ditemukan pada keadaan yang menimbulkan ancaman terhadap orang banyak, seperti misalnya wabah.
b. Recomended outcome situation (situasi belajar yang disarankan) : disini situasi belajar
yang muncul adalah dalam bentuk pemberian saran alternatif, dimana petugas berperan sebagai nara sumber. Masyarakat dianjurkan untuk mengadopsi perilaku tertentu, tetapi tidak ada sanksi jika perilaku tersebut tidak dilaksanakan. Situasi ini misalnya ditemukan pada upaya upaya perbaikan gizi.
c. Self directed outcome situation (situasi belajar yang ditetapkan sendiri) : pada situasi ini
masyarakat sudah berada dalam tahap bisa menetapkan sendiri hal hal yang dianggap baik
untuk dirinya. Tingkat pendidikan serta status sosial ekonomi yang demikian sudah
memungkinkan mereka memiliki dasar untuk memilih secara baik dan melakukan upaya upaya
untuk mencapai tujuan yang diinginkan secara mandiri. Peranan petugas bersifat konsultatif
dan pendekatan yang digunakan terutama bersifat non direktif.

Partisipasi Masyarakat :

Upaya pembangunan pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kemandirian
masyarakat, dan untuk tercapainya kemandirian terse¬but maka partisipasi masyarakat
merupakan hal yang mutlak diper¬lukan.
Dalam pengertian partisipasi maka didalamnya terkandung 3 komponen, yaitu :
interaksi, pengambilan keputusan dan kesedera¬jatan kekuasaan. Interaksi terjadi antara yang
mengajak berpar¬tisipasi dan yang diajak berpartisipasi, dalam suatu proses pengambilan
keputusan yang mempunyai akibat bagi kedua belah pihak. Dalam proses interaksi ini, kedua
belah pihak berada dalam kedudukan yang sederajat. Bertitik tolak dari pengertian partisipasi
ini, maka partisipasi mengandung konsekwensi kese¬diaan berbagi kekuasaan antara yang
mengajak berpartisipasi dan yang diajak berpartisipasi.
Dalam pembangunan di bidang kesehatan, maka tujuan yang ingin dicapai adalah
meningkatkan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat. Tujuan ini mengandung
konsekwensi bahwa partisipasi merupakan proses yang harus dikembangkan dalam setiap
upaya kesehatan dan ini terlihat dalam upaya upaya pengembangan peran serta masyarakat
dalam kegiatan PKMD atau Posyandu. Meskipun masih mempunyai kekurangan disana sini,
tetapi melalui kegiatan Posyandu diharapkan dapat diwujudkan peran serta masyarakat dalam
upaya kesehatan. Secara bertahap hal ini perlu ditingkatkan kualitasnya sehingga tercapai
suatu bentuk partisipasi yang optimal.

Penutup:

Keragaman potensi masyarakat yang berbeda beda membutuhkan pendekatan yang
sesuai dengan potensi yang ada. Pendeka¬tan apapun yang dipilih tetap harus
ditujukan pada suatu upaya untuk mewujudkan potensi masyarakat secara optimal. Melalui
upaya Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat, maka hal ini dicoba dicapai dengan
menggunakan pendekatan menekankan pada pemberian pengalaman belajar. Dengan
pendelegasian wewenang serta pengembangan peran serta bertahap, maka kemandirian
masya¬rakat ditumbuhkan sehingga mampu menjadi subyek dan sekaligus obyek.

PENDEKATAN DIREKTIF DAN NON DIREKTIF

1. Pengertian

Dalam suatu kegiatan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, seorang petugas
biasanya datang ke kelompok masyarakat tertentu, membuat identifikasi masalah dan sampai
kepada suatu kesimpulan bahwa masyarakat memerlukan program tertentu untuk
meningkatkan taraf hidupnya. Program yang ditujukan untuk memperbaiki keadaan
masyarakat ini sebetulnya didasarkan pada asumsi bahwa petugas mempunyai kemampuan
untuk menetapkan "konsep baik buruk" dari masyarakat sasaran. Meskipun hal ini
kelihatannya sederhana, masalah sebenarnya justru tidak sederhana. Setiap orang bisa
mempunyai pendapat sendiri sendiri tentang apa yang baik dan apa yang buruk, dan
pendapat pendapat ini bisa berbeda satu sama lain. Banyak faktor yang menentukan
pandangan seseorang tentang baik buruknya sesuatu, seperti misalnya faktor pengalaman,
pendidikan, harapan, motovasi dan sebagainya. Dengan demikian bisa terjadi bahwa apa
yang dianggap buruk oleh petugas belum tentu ditafsirkan sama oleh masyarakat dan
demikian juga apa yang dianggap baik oleh masyarakat belum tentu mendapat penafsiran
yang sama dari petugas.
Pada suatu pendekatan yang direktif, petugaslah yang menetapkan apa yang baik
atau buruk bagi masyarakat, cara cara apa yang perlu dilakukan untuk memperbaikinya dan
selanjutnya menyediakan sarana yang diperlukan untuk perbaikan tersebut. Dengan
pendekatan seperti ini memang prakarsa dan pengambilan keputusan berada ditangan
petugas. Dalam prakteknya petugas memang mungkin menanyakan apa yang menjadi
kebutuhan masyarakat atau cara apa yang perlu dilakukan untuk mengatasi suatu masalah,
tetapi jawaban yang muncul dari masyarakat selalu diukur dari segi baik dan buruk menurut
petugas. Dengan pendekatan ini memang banyak hasil yang telah diperoleh, tetapi terutama
untuk hal hal yang bersifat tujuan jangka pendek, atau yang bersifat pencapaian secara fisik.
Pendekatan seperti ini menjadi kurang efektif untuk mencapai hal hal yang sifatnya jangka
panjang atau untuk memperoleh perubahan perubahan mendasar yang berkaitan dengan
perilaku. Penggunaan pendekatan direktif sebetulnya juga mengakibatkan hilangnya
kesempatan untuk memperoleh pengalaman belajar dan menimbulkan kecenderungan untuk
tergantung kepada petugas. Pada pendekatan non direktif, petugas tidak menempatkan diri
sebagai orang yang menetapkan apa yang baik dan apa yang buruk bagi masyarakat,untuk
membuat analisa dan mengambil keputusan untuk masyarakat atau menetapkan cara cara
yang bisa dilakukan oleh masyarakat. Dengan menggunakan pendekatan ini petugas
berusaha untuk merangsang tumbuhnya suatu proses penetapan sendiri (self determination)
dan kemandirian (self help). Tujuannya adalah agar masyarakat memeperoleh pengalaman
belajar untuk pengembangan diri dengan melalui pemikiran dan tindakan oleh masyarakat
sendiri.

2. Kondisi Untuk Tumbuhnya "Self-directed Action"

Dari berbagai pengalaman pelaksanaan kegiatan masyarakat, sebagian masyarakat
memang berhasil berkembang dengan pendekatan non direktif tetapi ada juga mengalami
kegagalan. Untuk tumbuhnya suatu self directed action sebagai hasil dari pendekatan
dibutuhkan beberapa kondisi, yaitu :

a). Adanya sejumlah orang yang tidak puas terhadap keadaan mereka dan sepakat tentang
apa sebenarnya yang menjadi kebutuhan khusus mereka.
b). Orang orang ini menyadari bahwa kebutuhan tersebut, hanya akan terpenuhi jika mereka
sendiri berusaha untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
c). Mereka memiliki, atau dapat dihubungkan dengan sumber sumber yang memadai untuk
memenuhi kebutuhan tersebut. Yang dimaksud dengan sumber sumber disini meliputi :
pengetahuan, ketrampilan atau sarana dan kemauan yang kuat untuk melaksanakan
keputusan yang telah ditetapkan bersama sama.

3. Peran Petugas

Untuk terciptanya kondisi kondisi seperti tersebut diatas, maka petugas dapat
mengambil peran untuk :

a). Menumbuhkan keinginan untuk bertindak dengan merangsang munculnya diskusi tentang
apa yang menjadi masalah dalam masyarakat.
b). Memberikan informasi, jika dibutuhkan tentang pengalaman kelompok lain dalam
mengorganisasi diri untuk menghadapi hal yang serupa.

c). Membantu diperolehnya kemampuan masyarakat untuk membuat analisa situasi secara
sistimatik tentang hakekat dan penyebab dari masalah yang dihadapi masyarakat.
d). Menghubungkan masyarakat dengan sumber sumber yang dapat dimanfaatkan untuk
membantu mengatasi masalah yang sedang dihadapi mereka, sebagai tambahan dari
sumber sumber yang memang sudah dimiliki masyarakat.
Dalam menjalankan pendekatan non direktif, petugas dapat dihadapkan kepada
munculnya konflik konflik diantara sesama anggota masyarakat. Konflik yang tidak dapat
dikendalikan dan diatasi dapat mengakibatkan perpecahan, oleh karena itu petugas harus
mampu mengenal adanya konflik ini dan mengambil tindakan tindakan untuk mengatasinya.

4. Keuntungan Pendekatan Non-direktif

a). Memungkinkan diperolehnya hasil yang lebih baik dalam keterbatasan sumber yang ada.
Pada dasarnya memang selalu ada keterbatasan dana, tenaga maupun teknologi yang dimiliki
oleh pemerintah atau lembaga swasta. Dibukanya kesempatan keada masyarakat untuk
mengorganisasi kegiatan dengan menggunakan sumber sumber yang ada akan memberikan
kesempatan kepada pemerintah/lembaga untuk membantu lebih banyak kegiatan di
tempat tempat lainnya. Selain itu kesempatan untuk megorganisasi diri juga memungkinkan
digalinya potensi setempat yang semula tidak terlihat.
b).Membantu perkembangan masyarakat. Dengan diperolehnya pengalaman belajar maka
kemampuan masyarakat akan berkembang diikuti dengan tumbuhnya rasa percaya diri akan
kemampuan mereka untuk mengatasi masalah.
c). Menumbuhkan rasa kebersamaan (we feeling). Pengalaman bekerjasama diantara sesama
anggota masyarakat untuk mengatasi masalah masalah bersama akan meningkatkan
pengenalan diri diantara mereka sehingga dapat dirasakan tumbuhnya rasa kebersamaan.

5. Keterbatasan Pendekatan Non-direktif

a). Petugas tidak dapat sepenuhnya menetapkan isi dan proses kegiatan serta tidak dapat
menjamin bahwa hasil akhirakan sesuai dengan keinginannya.
b). Masyarakat yang sudah terbiasa dengan pendekatan direktif cenderung tidak menyukai
pendekatan yang non direktifkarena dengan pendekatan ini masyarakat "dipaksa" untuk
terlibat secara aktif dan ikut bertanggung jawab sepenuhnya atas keputusan yang ditetapkan.

ooo000ooo

MODEL PENGORGANISASIAN DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

Jack Rothman mengartikan pengorganisasian masyarakat sebagai bentuk intervensi pada tingkat masyarakat (community level) yang diarahkan untuk peningkatan atau perubahan lembaga lembaga kemasyarakatan dan pemecahan masalah masyarakat. (Fred Cox et al, 1979). Dengan berdasarkan pengertian tersebut, Rothman membedakan tiga model pengorganisasian masyarakat, yaitu : model A (Locality Development), model B (Social Planning) dan model C (Social Action).
Model A mengambil asumsi bahwa perubahan masyarakat berlangsung secara optimal
jika ada partisipasi dari berbagai anggota masyarakat dalam penetapan tujuan dan pelaksanaan
tindakan. Contohnya adalah program program pengembangan masyarakat.
Model B terutama menekankan pada aspek tehnis dalam penyele¬saian masalah dengan
melalui perencanaan yang baik dan rasio¬nal, sedangkan partisipasi masyarakat sifatnya bevariasi
ter¬gantung dari permasalahan yang dihadapi. Contohnya adalah kegiatan kegiatan
pembangunan yang disusun oleh Badan Perenca¬na pembangunan ( Daerah maupun Nasional).
Model C mempunyai tujuan utama untuk mengadakan perubahan mendasar pada
lembaga lembaga kemasyarakatan. sasaran utamanya adalah penataan kembali struktur
kekuasaan, sumber sumber dan proses pengambilan keputusan. Model ini tampak pada
perjuangan dari keleompok kelompok yang "tertindas" dalam usahanya untuk memperoleh
perlakuan yang lebih adil dan demokratis. Contohnya Women's Lib, Angkatan 66.

Beberapa ciri lain dari masing masing model.

Tujuan

Dibedakan antara tujuan yang berorientasi kepada proses dan kepada penugasan (task).
Orientasi kepada penugasan akan menekankan penyelesaian tugas tugas yang diberikan dalam
arti penyelesaian masalah masalah tertentu. Orientasi kepada proses akan menekankan
pembinaan kerjasama, partisipasi dan kepemimpinan setempat. Jika dilihat dari orientasi
tujuannya, model A berorientasi kepada proses dan ini terlihat dari banyaknya penggunaan
metode metode dinamika kelompok. Model B lebih berorientasi kepada penugasan sedangkan
model C kadang kadang berorientasi kepada proses dan kadang kadang kepada penugasan.

Strategi dasar

Karena model A menempatkan partisipasi masyarakat sebagai hal yang penting, maka
strategi yang digunakan adalah pencapaian konsensus dan menghindari konflik. Pada model B,
strateginya terutama didasarkan pada pemecahan masalah secara rasional dan logis. Oleh
karena itu, model B menekankan pentingnya pengumpulan data dan anlisa data sebelum
membuat suatu perencanaan yang baik. Model C mendasarkan strateginya pada kejelasan
sasaran yang ingin dicapai dengan melontarkan issue ketengah masyarakat, sedangkan sasaran
yang dimaksud dapat berupa individu maupun kelembagaan. Oleh karena itu model C banyak
memanfaatkan konflik, konfrontasi dan aksi aksi langsung.

Peran petugas/praktisi :

Pada model A, petugas lebih berperan sebagai "enabler" yang memberi kesempatan
kepada masyarakat untuk mengalami proses belajar melalui kegiatan pemecahan masalah. Pada
model B, petugas lebih berperan sebagai seorang ahli (expert) dengan kemampuan tehnis untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakat. Pada model C, yang lebih menonjol adalah
peran sebagai aktivis yang mampu memanfaatkan media massa dan mencari dukungan politis.

Orientasi terhadap struktur kekuasaan:

Pada model A, struktur kekuasaan diikutsertakan sebagai "Partner" dalam
usaha usahanya mencapai tujuan. Model B, penguasa justru yang merupakan "sponsor"
sedangkan pada model C struktur kekuasaan dijadikan sebagai sasaran perubahan.
Ketiga model tersebut diatas dalam kenyataan prakteknya bisa dikombinasikan satu sama lain dan bisa juga merupakan suatu tahapan. Penggunaan dalam bentuk kombinasi misalnya dengan lebih meningkatkan peran serta masyarakat dalam social planning ( model B ) atau dicarinya usaha usaha kompromi dalam suatu social action ( model C ). Sebagai suatu tahapan, misalnya suatu usaha yang bermula merupakan social action tetapi setelah sebagian tujuannya tercapai lalu diarahkan menjadi social planning.
Dengan diketahuinya ciri ciri dari ketiga model tersebut diatas kita dapat bersikap kritis dalam menilai suatu "gerakan" dimasyarakat dan tidak sampai "terperangkap" karena tidak mampu menganalisa latar belakang dan tujuannya.


ooo000ooo
KONSEP PRIMARY HEALTH CARE DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA

1. Latar Belakang Primary Health Care :

Berakhirnya Perang Dunia ke II diikuti dengan tumbuhnya suatu semangat untuk
membangun dan memperbaiki kembali keadaan yang telah dihancurkan oleh situasi peperangan.
PBB memproklama¬sikan periode ini sebagai suatu "dekade pembangunan" dan membantu
pengerahan berbagai sumber dana dan sumber daya untuk menilainya. Upaya ini telah
memberikan perbaikan secara sosial ekonomi di berbagai negara, tetapi juga mengandung
beberapa kelemahan (Hadad, 1980).
Pada periode tahun 1970an, semakin dirasakan adanya kesen¬jangan antara
negara negara maju dan negara sedang berkembang, karena negara maju telah mengalami
kemajuan sosial ekonomi yang jauh lebih pesat dibandingkan dengan keadaan di negara negara
sedang berkem¬bang. Keadaan di negara sedang berkembang sendiri juga memperli¬hatkan
adanya ketimpangan yang besar dalam tingkat kesejahteraan dari berbagai kelompok sosial
ekonomi yang ada. Bagian terbesar dari penduduk di negara sedang berkembang ternya¬ta belum
ikut merasakan manfaat pembangunan. Hasil pembangunan yang semula diharapkan akan
menetes kebawah ("trickle down effect") ternyata hanya dinikmati oleh sekelompok lapisan atas
masyarakat. Indika¬tor kemajuan pembangunan yang ditekankan kepada hal hal yang bersifat fisik
dan ekonomi ternyata tidak sesuai dengan kenyataan yang dirasakan oleh bagian terbesar
masyarakat. Kenyataan ini akhirnya menumbuhkan kesadaran baru untuk mencari pilihan strate¬gi
pembangunan yang lebih memungkinkan peningkatan kwalitas hidup masyarakat secara
keseluruhan (Hadad, 1980).
Sebagaimana dengan keadaan pembangunan pada umumnya, hasil pembangunan di
sektor kesehatan juga menunjukkan masih banyaknya hal hal yang memprihatinkan. Dari catatan
WHO pada tahun 1972, terlihat bahwa rata rata pendapatan perkapita di negara negara Asia dan
Afrika berkisar antara US $ 20 25 dibandingkan dengan US $4.980 di USA dan US $ 3.400 di
Perancis. Perbedaan yang menyolok ini mempengaruhi tingkat kesehatan masyarakat, dimana
tingkat kematian balita di negara negara sedang berkembang mencapai 30 50 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan negara negara maju. Hal ini masih ditambah lagi dengan angka kelahiran
yang tinggi, alokasi anggaran pembangunan kesehatan yang rendah dibandingkan dengan
sektor lainnya, pelayanan kesehatan yang terkotak kotak dan spe¬sialistis, penggunakan tehnologi
yang semakin tinggi dan mahal, orientasi yang lebih banyak pada pada kuratif daripada
pencegahan dan kecenderungan untuk lebih mengutamakan kepentingan kesehatan sebagian
kecil masyarakat yang mampu daripada kepentingan masya¬rakat banyak. Dilihat dari segi
cakupan, upaya kesehatan yang ada ternyata hanya dimanfaatkan oleh sebagian kecil
masyarakat dan terutama yang tinggal di perkotaan. Dan meskipun terdapat keter¬batasan dalam
sumber dana maupun sumber daya, tetapi yang terjadi adalah suatu pembatasan yang ketat
bahwa upaya pengobatan/kesehatan merupakan hak "eksklusif" dari profesi kesehatan, sehingga
yang terjadi adalah ketergantungan yang sema¬kin besar terhadap tenaga kesehatan profesional
yang jumlahnya terbatas (Djukanovic & Mach, 1975).
Melihat kenyataan ini, pada tahun 1973 WHO mengadakan studi perbandingan di
berbagai negara untuk mempelajari cara cara pe¬nyelenggaraan kegiatan pembangunan
kesehatan yang lebih efektif dan mampu mencapai bagian terbesar masyarakat, khususnya yang
berada di daerah pedesaan (Newell, 1975). Hasil studi ini kemu¬dian disusul dengan rekomendasi
yang selanjutnya menjadi dasar bagi konsep "Kesehatan Untuk Semua pada tahun 2000 melalui
Prima¬ry Health Care", yang dicanangkan pada tahun 1978 di Alma Ata. Sejak saat ini berbagai
negara secara resmi menggunakan konsep PHC untuk kebijaksanaan pembangunan di
negaranya, termasuk Indo¬nesia

2. Perkembangan PHC di Indonesia :

Di Indonesia sendiri, masalah ketimpangan dalam upaya kesehatan juga dirasakan.
Upaya kuratif lebih diutamakan daripada upaya pencegahan, sarana pelayanan kesehatan
diwujudkan dalam bentuk pembangunan rumah sakit yang umumnya berada di perkotaan dan
kecenderungan penggunaan tehnologi kesehatan yang canggih dan mahal dengan penanganan
penderita yang terkotak kotak oleh spe¬sialisasi. Meskipun bagian terbesar dari masyarakat
tinggal di daerah pedesaan, tetapi sarana dan petugas kesehatan bertumpuk di daerah
perkotaan. Dilain pihak sarana yang ada masih kurang dimanfaatkan secara optimal akibat
adanya kesenjangan antara "provider" dan "consumer". Hal ini mengakibatkan cakupan pelay¬
anan yang terbatas sehingga tidak banyak berpengaruh untuk me¬ningkatkan derajat kesehatan
secara keseluruhan (Wardoyo, 1975).
Situasi ini merangsang tumbuhnya prakarsa dari berbagai pihak untuk mencari suatu
strategi pelayanan kesehatan masyarakat yang sesuai dengan kondisi setempat. Pada tahun
1967 di Kampung Kerten, Solo dikem¬bangkan suatu model pelayanan kesehatan dengan cara
asuransi sederhana yang disebut sebagai Dana Sehat Pada tahun 1972 di Klampok hal yang
serupa juga muncul dan di¬peroleh suatu penga¬laman bahwa karena masyarakat memberi prio¬
ritas yang rendah untuk kesehatan, diper¬lukan suatu pendekatan tidak langsung dengan
mencoba ikut memban¬tu menangani masalah yang sifatnya health related atau bahkan yang
non health (Wardoyo, 1975; Johnston, 1983).
Melihat munculnya berba¬gai pendekatan yang tampaknya cukup efektif ini, maka pada
tahun 1975 Departemen Kesehatan membentuk sebuah tim kerja untuk me¬ngembangkan suatu
pendekatan yang dapat meningkatkan cakupan dan derajat kesehatan masyarakat secara efektif.
Pada Rapat Kerja Kesehatan Nasional tahun 1976, konsep Pembinaan Kesehatan Masya¬rakat
Desa (PKMD) diperkenalkan secara resmi kepada para Kepala Kanwil/Dinas Kese¬hatan seluruh
Indonesia dan stafnya. Pada tahun 1977 sebuah tim khusus kemudian melakukan sebuah quick
survey yang meliputi 30 desa di 6 propinsi dalam periode waktu sekitar 3 bulan, untuk
mempelajari berbagai pola tersebut. Ciri yang menon¬jol dalam berbagai pendekatan yang dite¬
mukan dilapangan tersebut adalah keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan upaya kese¬
hatan melalui penggunaan kader kese¬hatan, dan upaya penggalian dana setempat yang dikenal
sebagai Dana Sehat. Kegi¬atan kegiatan inilah yang kemudian disebut seba¬gai Pembi¬naan
Kesehatan Masyarakat Desa yang disingkat PKMD (Depkes, 1980).
Pada Raker¬kesnas tahun 1977 PKMD secara resmi diterima seba¬gai salah satu
kebijaksanaan na¬sional dan sejak tahun ini istilah Pembinaan diganti dengan Pembangunan
dengan alasan bahwa kegiatan PKMD meru¬pakan bagian integral dari pemba¬ngunan desa
(Soebekti, 1978). Pada tahun 1978, delegasi Indone¬sia yang dipim¬pin oleh Menteri Kesehatan
dalam Persidangan WHO/Unicef di Alma Ata memba¬wakan kebijaksanaan PKMD ini sebagai
suatu kebijak¬sanaan nasional pembangunan kese¬hatan di Indonesia (Ministry of Health of
Indonesia, 1978).
Dalam perkembangan selanjutnya, sejak tahun 1984 mulai dikembangkan suatu upaya
untuk lebih meningkatkan keterpaduan kegiatan kesehatan dan keluarga berencana, khususnya
dalam kaitannya untuk menurunkan angka kematian bayi dan anak serta pelembagaan norma
keluarga kecil, bahagia dan sejahtera. Di tingkat operasional, upaya ini dilaksanakan melalui Pos
Pelayanan Terpadu atau Posyandu. Dalam kegiatannya maka Posyandu terutama diarahkan
pada lima program pokok, yaitu imunisasi, pemberantasan diare dengan pemberian oralit,
kesehatan ibu dan anak, perbaikan gizi dan keluarga berencana. Meskipun demikian, tetap
terbuka kemungkinan untuk menambah dengan kegiatan kesehatan lain, sesuai dengan situasi
dan kondisi setempat. Dikaitkan dengan PKMD maka Posyandu adalah merupakan salah satu
bentuk kegiatan PKMD, dimana lingkup kegiatannya lebih diarahkan kepada ke lima program
prio¬ritas tersebut.

3. Pengertian PHC :

Menurut batasan pengertian yang dirumuskan dalam Deklarasi Alma Ata, maka PHC
diartikan sebagai :
upaya kesehatan primer yang didasarkan kepada metoda dan teknologi yang praktis, ilmiah
dan dapat diterima secara sosial, yang terjangkau oleh semua individu dan keluarga dalam
masyarakat melalui partisipasinya yang penuh, serta dalam batas kemampuan penyelenggaraan
yang dapat disediakan oleh masyarakat dan peme¬ p73 rintah di setiap tahap pembangunannya,
dalam suatu semangat ke¬mandirian (WHO & Unicef, 1978).
Oleh Departemen Kesehatan, PHC dijabarkan secara operasional dalam bentuk PKMD ,
dengan batasan pengertian :
rangkaian kegiatan masyarakat yang dilakukan berdasarkan gotong royong dan swadaya
dalam rangka menolong mereka sendiri, untuk mengenal dan memecahkan masalah/kebutuhan
yang dirasakan oleh masyarakat, baik dalam bidang kesehatan maupun dalam bidang yang
berkaitan dengan kesehatan, agar mampu memelihara dan meningkatkan kehidupannya yang
sehat dan sejahtera (Departemen Kesehatan, 1984).
Dari batasan pengertian PHC oleh WHO & Unicef, terlihat bahwa PHC merupakan upaya
kesehatan yang didasarkan kepada tehnologi tepat guna, dapat diterima secara sosial (socially
acceptable), terjangkau oleh masyarakat (accessible) dan tidak mahal (affordable). Upaya
kesehatan ini melibatkan masyarakat secara aktif (partisipasi) dan didasarkan pada kemandirian.
Dari pengertian PKMD menurut Departemen Kesehatan terlihat bahwa PKMD merupakan
kegiatan masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraannya, melalui
kegiatan kegiatan mandiri yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan kesehatan.
wHO dan Unicef menambahkan juga bahwa kegiatan PHC dapat meliputi salah satu atau
beberapa dari kegiatan kegiatan berikut:

(1) Pendidikan kesehatan.
(2) Perbaikan gizi dan makanan.
(3) Penyediaan air dan perbaikan sanitasi.
(4) Pemeliharaan kesehatan ibu dan anak.
(5) Imunisasi.
(6) Pencegahan dan pengawasan penyakit penyakit endemik.
(7) Pengobatan.
(8) Penyediaan obat obatan pokok.

Dari pengertian PHC dan elemen elemennya tersebut diatas, tampak bahwa "cakupan"
masalah dalam PHC tampak lebih "spesifik" dan "dibatasi" dalam masalah kesehatan. Dari
pengertian PKMD oleh Departemen Kesehatan, cakupan "masalah" yang digarap lebih bersi¬fat
broad spectrum yaitu meliputi masalah kesehatan dan yang berkaitan dengan kesehatan. Hal ini
dapat dimengerti karena bebe¬rapa kegiatan yang merupakan rintisan PKMD, seperti misalnya di
Banjarnegara, dimulai dari upaya pemecahan masalah non kesehatan (misalnya perbaikan
irigasi, tungku sekam padi)(Wardoyo, 1975; Johnston, 1984). Oleh karena itu pulalah dalam
kegiatan PKMD sangat ditekankan pentingnya kerjasa¬ma lintas sektoral, untuk pemecahan
masalah yang sifatnya "non kesehatan".
Dengan diresmikannya PKMD sebagai suatu kebijaksanaan nasional, maka suatu
prakarsa yang bersifat lokal sekarang diadopsi secara nasional. Di satu pihak ini memberikan
keuntungan karena upaya lokal yang sporadis sekarang digerakkan dalam skala nasional, disertai
dengan adanya dukungan sumber yang lebih be¬ p73 sar. Dengan cara ini diharapkan dampak
dari PKMD untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat akan lebih terasa secara nasional.
Di pihak lain, upaya yang semula lokal dan ditangani secara individual, sekarang berubah menjadi
suatu tar¬get yang harus dicapai dengan pembatasan waktu. Akibat sampingan yang segera
terasa adalah kegiatan kegiatan yang sifatnya persi¬apan sosial tidak dilakukan dengan memadai,
sehingga di beberapa tempat kegiatan PKMD dilaksanakan secara "karbitan". Hal ini berakibat
beberapa kegiatan PKMD tidak terlaksana dengan baik (Sasongko, 1984).

4. Peran serta masyarakat dalam PHC :

Salah satu prinsip penting dalam PHC adalah partisipasi masyarakat. Hal ini merupakan
suatu hal yang sangat mendasar sifatnya, karena salah satu konsekwensinya adalah tindakan
pengo¬batan/kesehatan yang semula merupakan hak "eksklusif" profesi kesehatan sekarang
di alihtehnologi kan kepada orang "awam", dalam hal ini kepada seorang kader kesehatan.
Akibatnya timbul tantangan yang cukup keras, terutama yang berasal dari "oknum" profesi
kesehatan (Mah¬ler, 1981). Tetapi karena jumlah petugas profesional memang terbatas diban¬
dingkan dengan besarnya permasa¬lahan kesehatan, maka akhirnya kehadiran kader kesehatan
sebagai partner dalam upaya pelayanan kesehatan primer "bisa" diterima.

Adanya "keengganan" untuk mendudukkan kader kesehatan sebagai partner dalam
upaya pelayanan kesehatan primer tampaknya merupakan salah satu gejala dari ketidaksamaan
penafsiran tentang arti partisipasi masyarakat. Meskipun perkataan "partisipasi" menjadi salah
satu "jargon" politik yang populer, tetapi istilah ini tampaknya ditafsirkan secara bervariasi
(Sasongko, 1984).
Penafsiran yang berbeda beda mengenai arti partisipasi ini berki¬sar dari penasiran
partisipasi hanya sebagai keikutseraan dalam suatu pelaksanaan kegiatan yang telah diputuskan
(oleh pihak lain) sebelumnya sampai dengan penafsiran yang lebih utuh dimana partisipasi
digambarkan sebagai suatu keterlibatan dalam suatu proses pengambilan keputusan dengan
berbagai konsekwensi¬nya. Soetrisno Kh (1985) menggambarkan berbagai derajat partisi¬pasi
masyarakat, mulai dari sekedar menikmati hasil (kegiatan pembangunan) sampai dengan
keterlibatan dalam perencanaan. Hal ini erat kaitannya dengan kwalitas partisipasi, mulai dari
kwali¬tas yang paling rendah, yaitu partisipasi karena mendapat perin¬tah, sampai dengan kwalitas
yang paling tinggi, yaitu partisipasi yang disertai dengan kreasi atau daya cipta.
Jadi apakah sebetulnya yang dimaksud dengan partisipasi ? Dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia, memang tidak dapat ditemukan perkataan partisipasi, karena istilah ini
memang merupakan suatu istilah yang "kontemporer" sebagai pengindonesiaan dari istilah asing
participation (Sasongko, 1984). Dalam waktu belakangan ini istilah ini digantikan dengan istilah
yang lebih "pribumi", yaitu peran serta. Kamus Webster (1971) mengartikan participa¬tion sebagai
kegiatan untuk mengambil bagian atau ikut me¬nanggung bersama orang lain. French dkk (1960)
mengartikan parti¬sipasi sebagai suatu proses dimana dua atau lebih pihak pihak yang terlibat,
saling pengaruh mempengaruhi satu sama lain dalam mem¬buat keputusan yang mempu¬nyai
akibat di masa depan bagi semua pihak. Dengan dasar penger¬tian ini, Mulyono Gandadiputra
(1978) menyimpulkan bahwa partisi¬pasi mengandung tiga elemen, yaitu : pengambilan keputusan
atau pemecahan masalah, interaksi dan kese¬derajatan kekuasaan.
Pengambilan keputusan atau pemecahan masalah berkaitan dengan suatu proses
untuk mengatasi adanya kesenjangan antara keadaan yang ada dan keadaan yang
diinginkan. Untuk berlangsungnya proses ini, maka semua pihak yang (seharusnya) terlibat
dalam pengambilan keputusan harus menyadari akan adanya masalah, termotivasi untuk
mengatasinya dan memiliki kemampuan serta sumber untuk mengatasi masalah.
Dalam partisipasi terkandung pengertian adanya beberapa pihak yang terlibat melalui
suatu proses interaksi. Interaksi yang berlangsung harus didasari atas azas kesamaan atau
kesedera¬jatan kekuasaan dan bukan didasari atas hubungan "atasan bawahan". Ini tidak berarti
bahwa tidak ada perbedaan antara pihak pihak yang terli¬bat dalam pengambilan keputusan,
karena masing masing pihak bisa mempunyai status formal atau keahlian yang berbeda. Tetapi
yang penting adalah adanya interaksi yang dilandasi atas kesederajatan kekuasaan dimana
keahlian dan sumber sumber yang dimiliki masing masing fihak lalu dipadukan untuk pemecahan
masalah.
Dalam konteks PHC, maka partisipasi masyarakat merupakan hal yang penting, karena
upaya kesehatan primer merupakan suatu ke¬giatan kontak pertama dari suatu proses
pemecahan masalah kesehatan. Melalui partisipasi masyarakat maka kesenjangan yang ada
antara provider dan consumer dicoba untuk dijembatani, melalui partisipasi masyarakat potensi
setempat dicoba untuk didayagunakan dan melalui partisipasi ini proses belajar akan berlangsung
lebih efektif (Haggard, 1944), sehingga mempercepat peningkatan kemampuan masyarakat
untuk menolong dirinya sendiri dalam hal kesehatan, seperti yang menjadi tujuan
dari pembangunan kesehatan (Dep. Kesehatan, 1982).

5. Peranan dan kedudukan kader kesehatan dalam PHC :

Salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam PHC adalah menjadi kader kesehatan.
Seorang kader kesehatan merupakan warga masyarakat yang terpilih dan diberi bekal
ketrampilan kesehatan melalui pelatihan oleh sarana pelayanan kesehatan/Puskesmas
setempat. Kader kesehatan inilah yang selanjutnya akan menjadi motor penggerak atau
pengelola dari upaya kesehatan primer. Melalui kegiatannya sebagai kader ia diharapkan mampu
menggerak¬kan masyarakat untuk melakukan kegiatan yang bersifat swadaya dalam rangka
peningkatan status kesehatan. Kegiatan kegiatan yang dilakukan meliputi kegiatan yang sifatnya
promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif.
Meskipun pengobatan tradisional atau self treatment merupakan hal yang sudah dikenal
oleh masyarakat banyak, tetapi upaya kesehatan primer yang dikelola oleh kader merupakan hal
yang masih baru bagi masyarakat. Pada pengobatan tradisional, misalnya oleh dukun bayi atau
dukun patah tulang, maka pelaku aktif kegiatan pengobatan tradisional merupakan figur yang
sudah dikenal oleh masyarakat karena disini biasanya terjadi proses "alih generasi" melalui faktor
keturunan. Hal ini memberikan suatu kredibilitas tersendiri bagi dukun ybs, khususnya kredibilitas
dalam segi kemampuan (competent credibility) mau¬pun kredibilitas dalam segi kepercayaan
(safety credibility) (Rogers, 1973).
Pengelolaan kegiatan upaya kesehatan primer dilain pihak dilaksanakan oleh kader
Kesehatan yang sebelumnya se¬ringkali tidak dikenal mempunyai ketrampilan
kesehatan/pengobatan. Meskipun figur kader itu sendiri bukan orang yang asing bagi masyarakat
sekitarnya, tetapi peranannya sebagai seorang yang yang mempunyai ketrampilan di bidang
kesehatan/pengobatan adalah merupakan hal baru bagi masyarakat lingkungannya. Oleh karena
itulah seorang kader seringkali memulai kegiatannya tanpa bekal dari segi competent credibility.
Dalam hal kader tersebut sebe¬lumnya memang sudah merupakan seorang tokoh masyarakat
yang dise¬gani, maka disini kader tersebut setidaknya sudah memiliki safe¬ty credibi¬lity.
Faktor kredibilitas ini merupakan hal yang penting dimiliki oleh seorang kader kesehatan,
karena tanpa kredibilitas maka ia tidak akan dapat mengembangkan peranannya untuk
mengelola suatu upaya kesehatan primer. Disinilah peranan petugas kesehatan atau lembaga
pelayanan kesehatan profesional setempat menjadi penting untuk membantu kader kesehatan
memperoleh kredibilitas di mata masyarakat lingkungannya (Sasongko, 1986b).
Competent credibility bisa diperoleh melalui pelatihan ketrampilan di bidang tehnik tehnik
kesehatan sederhana, sehingga seorang kader kesehatan mampu memberikan nasehat nasehat
tehnis kepada masyarakat yang memerlukannya. Melalui ketrampilan ini secara bertahap ia akan
mengembangkan citra dirinya sebagai se¬orang yang dapat dipercaya (safety credibility). Bekal
kredibi¬litas ini akan membantunya untuk secara efektif menjalankan peran sebagai pengelola
upaya kesehatan primer. Petugas kesehatan se¬tempat bisa membantu kader untuk memperoleh
kredibilitas ini jika antara petugas dan kader bisa dikembangkan suatu interaksi yang bersifat
partnership, jika pembimbingan (supervisi) dilaksana¬kan secara edukatif. Memperlakukan kader
kesehatan hanya sekedar sebagai perpanjangan tangan (extension) dari petugas atau bah¬kan
sebagai "pembantu" petugas akan menyebabkan kader kehilangan kredibilitasnya di mata
masyarakat. Bagi kader sendiri perlakuan seperti itu terhadap dirinya jelas bukan merupakan
sesuatu yang rewarding. Dampaknya akan terlihat dalam bentuk tidak berjalan¬nya upaya
kesehatan primer yang dikelola kader atau dalam bentuk tingginya drop out kader.
Dalam pengembangan kader kesehatan terdapat unsur kesukare¬laan (volunteerism) yang
merupakan hal penting, karena fungsi sebagai kader memang merupakan suatu tugas sosial.
Tetapi ini tidak berarti seorang kader tidak memerlukan penghargaan (reward), baik yang sifatnya
non material ataupun yang bersifat material. Tidak adanya mekanisme pemberian penghargaan
untuk kader dapat mempengaruhi kelestarian kegiatan kader. Oleh karena itu perlu
dikembangkan suatu mekanisme, dimana secara built in fungsi sebagai kader merupakan
sesuatu yang menimbulkan kepuasan (rewarding). Kepuasan ini timbul jika kader merasakan
bahwa kredibilitasnya menjadi meningkat dengan aktivitasnya sebagai kader.

5. Penutup :

Tujuan pembangunan kesehatan adalah tercapainya ke¬mampuan masyarakat untuk
hidup sehat. Upaya kesehatan primer yang dilaksanakan dengan mengikutsertakan masyarakat
secara aktif merupakan medium untuk proses belajar sosial sehingga sangat penting artinya
untuk pencapaian tujuan pembangunan kesehatan.


ooo000ooo

DIFUSI INOVASI

Difusi inovasi adalah proses dimana sebuah inovasi dikomunikasikan melalui beberapa
saluran selama periode waktu tertentu kepada anggota dari sebuah sistem sosial (Rogers, 1973). Sedangkan inovasi adalah sebuah gagasan, praktek atau obyek tertentu yang dianggap baru oleh seseorang (Rogers, 1973).
Konsep difusi inovasi ini lahir dari penelitian penelitian tentang proses penerimaan
teknologi teknologi baru di bidang pertanian oleh para petani di Amerika Serikat, dan telah
dikembangkan sejak tahun 1940. Dalam perkembangannya konsep ini juga digunakan dalam
bidang bidang non pertanian seperti misalnya program KB. Karena hakekat pelaksanaannya
agak berbeda, maka penggunaan konsep ini dalam bidang KB menggunakan beberapa
penyesuaian. Model yang digunakan dalam bidang pertanian dikenal sebagai model klasik
difusi inovasi.
Dalam model klasik difusi inovasi digambarkan proses penyebaran/penerusan dari suatu gagasan (yang dianggap) baru dalam suatu kurun waktu tertentu, dimana akhirnya dapat dibedakan beberapa macam "penerima" gagasan sesuai dengan derajat kecepatan adopsinya yang berbeda beda. Berdasarkan perhitungan perhitungan statistik maka setelah suatu kurun waktu tertentu sejak dikomunikasikannya inovasi kepada kelompok masyarakat tertentu maka proses difusi dapat digambarkan berikut : (lihat lampiran grafik)
Terlihat bahwa setelah kurun waktu tertentu dapat dibedakan lima kategori adopter yang
distribusinya secara keseluruhan membentuk kurve distribusi normal, yaitu :

1). Inovator
2). Early Adapter
3). Early majority
4). Late majority
5). Laggard

Secara akumulatif, distribusi daripada kelima kategori adopter tersebut juga dapat
digambarkan membentuk kurve S. Inovator dan early adopter merupakan kelompok
masyarakat yang dalam waktu singkat mengadopsi inovasi, sedangkan laggard merupakan
kelompok masyarakat yang paling akhir mengadopsi inovasi tersebut.
Jika digunakan perhitungan perhitungan statistik, maka dari kelima kategori adopter tersebut,
early majority dan late majority merupakan jumlah terbesar, sedangkan innovator merupakan
minoritas.

Seperti telah disebutkan sebelumnya, inovasi adalah setiap gagasan, praktek atau obyek tertentu yang dianggap baru oleh seseorang, sekelompok orang atau sistem sosial tertentu. Dibutuhkan kurun waktu tertentu sebelum gagasan tersebut juga diterima oleh orang lain. Kesempatan penyebaran gagasan tersebut dipengaruhi oleh karakter dari inovasi itu sendiri dan karakter dari anggota masyarakat. Beberapa karakter inovasi yang mempengaruhi kecepatan penyebaran adalah :

a). Manfaat relatif (relative advantage)
Inovasi yang dinilai sebagai lebih bermanfaat (dari segi sosial maupun ekonomi) akan
lebih cepat diterima. Penilaian kemanfaatannya disini tidak hanya berdasarkan kriteria
obyektif, tetapi kriteria subyektif juga sangat berpengaruh.

b). Kesesuaian (compatibility)
Yang dimaksud disini adalah kesesuaiannya dengan nilai nilai, pengalaman masa lalu dan
kebutuhan seseorang. Semakin tinggi derajat kesesuaiannya, semakin cepat difusinya.

c). Kerumitan (complexity)
Suatu inovasi yang dinilai sulit dimengerti atau diterapkan, akan lebih lambat difusinya

d). Dapat dicoba (trialability)
Inovasi yang dapat dicoba lebih dulu secara terbatas akan lebih cepat diterima

e). Dapat diamati (observability)
Inovasi yang hasilnya dapat segera dilihat akan lebih cepat diadopsi

Ciri Ciri Adopter :

Tidak semua orang mempunyai kemampuan adopsi yang sama terhadap suatu
inovasi. Ini dipengaruhi juga oleh ciri ciri individu tersebut sehingga terdapat perbedaan dalam
keterbukaan dan kecepatannya untuk mengadopsi hal hal baru.
Dari penelitian penelitian yang dilakukan diberbagai negara terhadap penerimaan suatu
inovasi baru (terutama dalam bidang pertanian), Gwyn Jones (1972) membedakan ciri ciri dari
tiap kategori adopter berdasarkan ciri ciri individu, sifat hubungan sosial dan perilaku
komunikasi.

Tahapan proses adopsi :

Menurut Rogers, terjadinya adopsi berlangsung melalui 4 tahapan yaitu :
1. Knowledge (Pengetahuan)
2. Persuasion (Persuasi)
3. Decision (Keputusan)
4. Confirmation (Konfirmasi)
Pada tahap knowledge maka kelompok sasaran memperoleh informasi tentang sebuah inovasi, baik melalui perantaraan media massa maupun komunikasi interpersonal. Setelah mendengar dan mengetahui informasi ini, pada tahap persuasion terbentuklah sikap terhadap inovasi tersebut yang bisa bersifat positif (menyukai) atau negatif (tidak menyukai). Selanjutnya kelompok sasaran akan mengambil keputusan (decision) apakah dia akan mengadopsi inovasi tersebut (adoption) atau tidak (rejection). Setelah pengambilan keputusan tersebut maka tahap selanjutnya adalah confirmation dimana kelompok sasaran bisa menilai apakah keputusan yang telah diambil sebelumnya akan tetap dilanjutkan (continue adoption) atau selanjutnya ditolak (later rejection).
Tahapan seperti tersebut diatas merupakan koreksi terhadap konsep sebelumnya yang terdiri dari awareness, interest, evaluation, trial dan adoption. Konsep ini dikoreksi karena menurut Rogers, tidak seluruh proses akan berakhir dengan adopsi. Alasan lain karena tahap evaluasi bukan hanya terjadi setelah tahap interest saja tetapi juga pada berbagai tahap lain.
Tahap konfirmasi merupakan bagian penting yang sering terabaikan dalam banyak upaya pelayanan kesehatan kita. Hal ini terjadi karena diasumsikan bahwa proses adopsi selesai dengan adanya keputusan untuk menggunakan produk pelayanan kesehatan tertentu (misalnya pelayanan posyandu, penggunaan kontrasepsi, pelayanan vaksinasi dsb). Dari skema diatas dapat dilihat bahwa setelah pengambilan keputusan untuk menggunakan produk masih dilanjutkan dengan tahap konfirmasi dimana keputusan yang sudah diambil sebelumnya bisa berubah jika kelompok sasaran mengalami kekecewaan terhadap produk pelayanan yang diterima. Oleh karena itu penting sekali mengembangkan pelayanan “purna jual” dimana petugas kesehatan tetap menjaga kualitas pelayanan dan hubungannya dengan konsumen agar konsumen tetap puas terhadap produk yang telah digunakannya.