Minggu, 27 Februari 2011

Tips belajar efektif


Tips Belajar Efektif

Tiap kali menjelang Final semester, aku kembali mengatur strategi belajar yang baik. Juga malam ini. Biasanya, yang paling sering digunakan adalah strategi SKS (Sistem Kebut Semalaman), terutama pada mata kuliah yang hanya perlu dibaca-baca ulang. Review dan kemudian diingat. Tapi pada mata kuliah yang hitung-hitungan (seperti kebanyakan pada jurusanku) hal itu tidak dapat dilakukan. Apa gak stress kalau mesti menghafal semua rumus dalam waktu kurang dari 12 jam sebelum ujian? Jika rumusnya tidak membutuhkan analisis mah mungkin saja, tapi rumus di level ini sudah terlampau sulit menurutku
Tapi jika memang darurat, terpaksa sistem SKS pun diterapkan pada semua materi kuliah. Tapi ada strategi yang menurutku lumayan bagus untuk mengejar ketertinggalan kereta untuk tiap ujian semester.
Yang pertama, kuasai materi inti yang menjadi pokok bahasan materi dimaksud. Jangan hanya menggambar wajah atau model baju dosen ketika ia mengajar. Usahakan sebaik mungkin memahami setiap ucapannya. Karena, materi pelajaran yang diterima lewat dua indera (mata dan telinga) akan lebih lama tersimpan dalam memori jangka pendek kita. Jika ia diulang terus menerus, ia akan tertanam dalam memori jangka panjang kita. Nah, inilah pokok bahasan utama yang akan selalu diingat. Otak sejenis aku mungkin hanya akan mampu menyerap pokok masalah. Bukan hal-hal kecil yang kadang tidak penting. Dan skala prioritas belajar memang penting. Utamakan hal yang ingin dikuasai terlebih dahulu, baru hal-hal yang berkaitan dengannya.
Kedua, ulangi pelajaran jika ada waktu. Meski pun ini tidak akan mudah terlaksana. Aku lebih memilih untuk utak-atik template blog, main game, baca artikel dari internet, atau sekedar dengerin musik, daripada mengulang materi kuliah. Uffh … Aku memang payah. Ini yang mengakibatkan kegelisahan yang teramat sangat ketika waktu ujian sudah dekat. Apalagi jika materinya sulit. Mmm… Jadinya repot sendiri kan!
Ketiga, pahami model belajar yang kamu gunakan. Masing-masing dari kita berbeda. Ada yang senang belajar pada tengah malam dikala orang lain terlelap, ada yang belajar di tengah ratusan pembaca lain, ada orang yang belajar sambil denger musik, ada yang belajar lewat rekaman suara, ada yang belajar lewat chating di internet, ada yang belajar sambil baca buku ketika buang air, ada yang gampang menghafal ketika ada cemilan di sampingnya, ada yang pintar mengingat hanya ketika di dalam kelas, ada yang belajar dengan berdiskusi kelompok, ada yang belajar dengan mengerjakan latihan-latihan di buku paket, dan lain sebagainya. Dan yang jelas, ada yang belajar hanya ketika ujian akan datang esok hari. Seperti kata Fitri, ketika kita terdesak, maka materi pelajaran akan dipaksa masuk ke dalam otak kita. Bisa-bisa jebol tu harddisknya!
Keempat, sistem kerja otak kita katanya : mudah menerima info dari materi pelajaran hanya di awal dan di akhir pembelajaran, khususnya pada 15 menit pertama dan 15 menit terakhir. Hal ini berimbas pada perlunya rileks di tengah kondisi belajar. Jika dimungkinkan, kita harus belajar (memaksa otak untuk bekerja) selama setengah jam (30 menit), hanya 30 menit. Setelah itu beristirahatlah selama 20 menit, rilex, nonton tivi, main game atau apapun. Yang jelas bisa menghilangkan kerutan pada jidat. Nah, setelah itu, lanjutkan belajar lagi. 30 menit kedua, break, 30 menit ketiga, dan seterusnya.
Kelima, jangan lupa baca basmalah di awal dan hamdalah di akhir belajar. Jangan kira usaha kita akan mampu berjalan tanpa ada dukungan dari doa. Karena pentingnya doa itu, maka ia harus berjalan beriringan. Agar ilmu yang kita dapat tidak hanya bermanfaat, tapi juga membawa berkah bagi kita. Semoga itu yang selama ini ada dalam diri kita. Amin.
Semoga tips ini berguna bagi pembaca. Tulisan ini saya buat di tengah kesibukan otakku mengingat kembali materi kuliah evaluasi. Doakan besok sukses. Amin …




Teori-Teori Belajar

Teori-teori dalam belajar adalah :
Connectionism (koneksionisme)
Teori connectionism (koneksionisme) adalah teori yang ditemukan dan dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874-1949) berdasarkan eksperimen yang ia lakukan pada tahun 1980-an. Eksperimen Thorndike in digunakan hewan-hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar. Berdasarkan eksperimen yang dilakukan Thorndike berkesimpulan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan respon. Itulah sebabnya teori koneksionisme disebut “S-R Bond Theory” dan “SR Psychology of Learning” selain itu, teori itu dikenal dengan sebutan “Trial and Error Learning”. Istilah itu menunjukkan panjangnya waktu dan banyak jumlah kekeliruan dalam mencapai suatu tujuan (Hillgard dan Bower, 1975)
Classical Conditioning (Pembiasaan Klasik)
Teori pembiasaan klasik berkembang berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Paulov (1849-1936), seorang ilmuwan besar Rusia yang berhasil menggondol hadiah nobel (1909). Pada dasarnya classical conditioning adalah sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadi refleks tersebut (Terrace, 1973).
Dalam eksperimennya, Pavlov menggunakan anjing untuk mengetahui hubungan-hubungan antar conditional stimulus (CS), unconditioned stimulus (UCS). Conditioned response (CR), dan unconditioned response (UCR). CS adalah rangsangan yang mampu mendatangkan respon yang dipelajari, sedangkan respon yang dipelajari itu sendiri disebut CR. Adapun UCS berarti rangsangan yang menimbulkan respon yang tidak dipelajari dan respon yang tidak dipelajari itu disebut UCR.
Dari hasil eksperimen yang dilakukan, bahwa belajar adalah perubahan yang ditandai dengan adanya hubungan antara stimulus dan respons. Apabila stimulus yang diadakan (CS) selalu disertai dengan stimulus penguat (UCS). Stimulus tadi (CS) cepat atau lambat akhirnya akan menimbulkan respon atau perubahan yang kita hendaki yang dalam hal ini CR.
Operant Conditioning (pembiasaan perilaku respon)
Teori ini dikembangkan oleh Burrhus Frederic Skinner. Operant conditioning adalah sejumlah perilaku atau respons yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan yang dekat (Reber, 1980). Respon dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respon tertentu namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya.
Dalam eksperimennya, skinner menggunakan seekor tikus yang ditempatkan dalam sebuah peti yang kemudian terkenal dengan nama “Skinner Box”. Peti sangkar ini terdiri atas dua macam komponen pokok, yakni : manipulandum dan alat pemberi reinforcement yang antara lain komponen yang dapat dimanipulasi dan gerakannya berhubungan dengan reinforcement. Komponen ini terdiri atas tombol, batang jeruji, dan pengungkit (Reber, 1988).
Contiguous conditioning (pembiasaan asusiasi dekat)
Teori contiguous conditioning adalah sebuah teori belajar yang mengasumsikan terjadinya peristiwa belajar berdasarkan kedekatan hubungan antara stimulus dengan respon yang relevan.
Teori ini ditemukan oleh Edwin R. Guthrie. Menurut teori ini apa yang sesungguhnya dipelajari orang, misalnya seorang siswa, adalah reaksi atau respons terakhir yang muncul atas sebuah rangsangan atau stimulus. Artinya, untuk selamanya atau sama sekali tidak terjadi (Reber, 1989 : 153). Dalam pandangan penemu teori ini peningkatan berangsur-angsur kinerja hasil belajar yang lazim dicapai seorang siswa bukanlah hasil dari respons kompleks terhadap stimulus-stimulus melainkan karena dekatnya asosiasi antara stimulus dengan respon yang diperlukan.
Cognitive theory (teori kognitif)
Teori psikologi kognitif adalah bagian terpenting dari sains kognitif yang telah memberi kontribusi yang sangat berarti dalam perkembangan psikologi belajar. Pendekatan psikologi kognitif lebih menekankan arti penting proses internal, mental manusia, dalam pandangan para ahli kognitif, tingkah laku manusia yang tampak tidak dapat diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses mental seperti motivasi, kesengajaan, keyakinan, dan sebagainya.
Pakar psikologi kognitif, Piaget, menyimpulkan :
Children have a built in desire to learn (Barlow, 1985) artinya bahwa semenjak lahirnya setiap anak manusia memiliki kebutuhan yang melekat dalam dirinya sendiri untuk belajar.
Social Learning theory (teori belajar sosial)
Tokoh utama teori ini adalah Albert Bandura. Bandura memandang tingkahlaku manusia bukan semata-mata refleks otomatis atas stimulus, melainkan reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif manusia itu sendiri.
Prinsip dasar belajar hasil temuan Bandura termasuk belajar sosial dan moral. Menurut Barlow (1985), sebagian besar dari yang dipelajari manusia terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Dalam hal ini seorang siswa belajar mengubah perilakunya sendiri melalui penyaksian siswa belajar mengubah perilakunya sendiri melalui penyaksian orang lain atau sekelompok orang mereaksi atau merespon sebuah stimulus tertentu. Siswa ini juga dapat mempelajari respons-respons baru dengan cara pengamatan terhadap perilaku contoh dari orang lain, misalnya guru  atau oran tuanya.
Pendekatan teori belajar sosial terhadap proses perkembangan sosial dan moral siswa ditekankan pada perlunya conditioning (pembiasaan, merespon) dan imitation (peniruan).
~~ Belajar sebagai Proses ~~
Kognitif
Ada dua kecakapan kognitif siswa yang amat perlu dikembangkan  khususnya guru yakni :
a)      Strategi belajar memahami isi materi pelajaran
b)     Strategi meyakini arti penting isi materi pelajaran dan aplikasinya seta menyerap pesan-pesan moral yang terkandung dalam materi pelajaran tersebut
Strategi adalah sebuah istilah populer dalam psikologi kognitif, yang berarti prosedur mental yang berbentuk tatanan tahapan yang memerlukan alokasi berupa  upaya yang bersifat kognitif dan selalu dipengaruhi oleh pilihan kognitif atau pilihan kebiasaan belajar siswa. Pilihan kebiasaan belajar ini secara global terdiri atas :
a)      Menghafal prinsip-prinsip yang terkandung dalam materi
b)     Mengaplikasikan prinsip-prinsip materi
Preferensi kognitif yang pertama, timbul karena dorongan luar (motif ekstrinsik) yang mengakibatkan siswa menganggap belajar hanya sebagai alat pencegah ketidaklulusan atau ketidaknaikan. Menurut Dark and Clarke (1990), aspirasi yang dimilikinya bukan ingin menguasai materi secara mendalam, melainkan sekedar asal usul atau naik kelas semata.
Preferensi kognitif yang kedua, timbul karena dorongan dari dalam diri siswa sendiri (motif intrinsik), dalam arti siswa menang tertarik dan membutuhkan materi-materi pelajaran yang disajikan gurunya. Siswa ini lebih memusatkan perhatiannya untuk benar-benar memahami dan memikirkan cara menerapkannya (Geed, and Brophy, 1990). Untuk mencapai aspirasinya, ia memotivasi diri sendiri agar mengaplikasikannya dalam arti menghubungkannya dengan materi-materi lain yang relevan.
Afektif
Keberhasilan pengembangan ranah kognitif hanya akan membuahkan kecakapan kognitif, tetapi juga menghasilkan kecakapan ranah afektif. Sebagai contoh, seorang guru agama  yang piawi dalam mengembangkan kecakapan kognitif dengan cara seperti yang penyusun uraiakan diatas, akan berdampak positif terhadap ranah afektif para siswa. Dalam hal ini, pemahaman yang mendalam terhadap arti penting materi pelajaran agama yang disajikan guru serta preferensi kognitif ini, antara lain berupa kesadaran beragama yang mantap.
Dampak positif lainnya ialah dimilikinya sikap mental keagamaan yang lebih tegas dan lugas sesuai dengan tuntutan ajaran agama yang ia pahami dan yakini secara mendalam. Sebagai contoh, apabila seorang  siswa diajak kawannya untuk berbuat tidak senonoh seperti, melakukan seks bebas, meminum keras dan Pil Setan, ia akan serta merta menolak dan bahkan berusaha mencegah perbuatan asusila itu dengan segenap daya dan upayanya.
Psikomotorik
Keberhasilan pengembangan ranah kognitif, juga akan berdampak positif terhadap pengembangan ranah psikomotorik. Kecakapan psikomotorik adlaha segala amal jasmaniah yang konkret dan mudah diamati, baik kuantitasnya maupun kualitasnya, karena sifatnya yang ter buka. Namun disamping kecakapan psikomotorik itu tidak terlepas dari kecakapan kognitif dan layak terikat oleh kecakapan afektif. Jadi, kecakapan psikomotorik siswa merupakan manifestasi wawasan pengetahuan dan kesadaran serta sikap mentalnya.
Sebagai contoh para siswa yang berprestasi baik dalam bidang pelajaran agama misalnya sudah tentu akan rajin beribadah, shalat dan mengaji. Dia juga tidak akan segan-segan memberi pertolongan dan bantuan kepada orang yang melakukan. Sebab ia merasa memberi bantuan itu adalah kebajikan (afektif), sedangkan perasaan yang berkaitan dengan kebajikan tersebut dari pemahaman yang mendalam terhadap materi pelajaran agama yang ia terima dari gurunya (kognitif).
Kesimpulannya bahwa upaya guru dalam mengembangkan keterampilan ranah kognitif para siswanya merupakan hal yang sangat penting jika guru tersebut menginginkan siswanya aktif mengembangkan sendiri keterampilan ranah-ranah psikologi lainnya.

Aplikasi Teori-Teori Konseling

Pengantar
Aplikasi teori-teori konseling pada praktek konseling keluarga adalah suatu keharusan. Sebenarnya setiap teori konseling ada praktek untuk konseling individual. Akan tetapi sering konselor mengalami kesulitan dalam aplikasi tersebut dengan single theory, karena perilaku manusia tidak bisa dilihat hanya dari satu sisi saja. Jadi harus disorot dari segala arah. Karena itu menggunakan multi theory adalah hal yang wajar dalam mempelajari atau mengamati perilaku manusia, terutama dalam praktek konseling.
Pendekatan Terpusta pada Klien
Rogers (1961) menulis tentang implikasi konseling terpusat pada klien terhadap kehidupan keluarga. Dalam bukunya “On becoming a person” dia menekankan bahwa hubungan dalam keluarga dapat dihidupkan atas suatu dasar yang wajar, jujur, asli, sebagaimana bertentangan dengan kehidupan  yang berpura-pura atau penuh kepalsuan. Dalam kehidupan tersebut membolehkan anggota keluarga untuk menyatakan pikiran dan perasaan secara terbuka, belajar berkomunikasi dua arah, saling menerima dan menghormati dan membiarkan orang lain berbeda pendapat, pikran dan perasaan.
Anggota keluarga sering berjuang untuk mempertanyakan kepercayaan anggota lain yang didasarkan pada rasa kejujuran, keterbukaan berespon dan kewajaran. Sebagaimana anggota keluarga yang datang untuk konseling, pada mulanya  bersikap defensive dan tidak ditemukan pernyataan-pernyataan. Karena itu konseling keluarga harus dengan iklim terbuka, bebas, dan jujur sehingga seharusnya iklim itu dibawa juga sampai ke rumah nantinya.
Masalah besar lainnya adalah bahwa sebagian anggota keluarga merasa tidak dilayani atau dihargai sebagai pribadi unik yang berbeda dengan orang lain. Kadang-kadang terjadi bahwa suatu penerima dan kasih sayang dari orang tua harus bersyarat. Sebagai contoh, seorang ibu akan sayang dan menerima anaknya jika anak tersebut melakukan sesuatu yang unggul sesuai harapan ibu itu. Jika syarat itu tak terpenuhi maka anak tersebut hanya akan menerima umpatan dan caci atau olok-olok dari orang tua. Situasi ini akan muncul dalam konseling keluarga terutama pada sesi-sesinya, karena itu harus diusahakan muncul kepermukaan.
Di dalam konseling keluarga, fungsi konselor adalah sebagai fasilitator,yaitu untuk memudahkan membuka dan mengarahkan jalur-jalur komunikasi apabila ternyata dalam kehidupan keluarga tersebut pola-pola komunikasi telah berantakan bahkan terputus sama sekali.
Thayer (1982) menemukan kemampuan anggota-anggota keluarga untuk mencapai aktualisasi diri dan menemukan sumber atau potensi diri untuk digunakan memecahkan masalah individu maupun masalah keluarga. Mereka mampu untuk membentuk pertumbuhan mereka sendiri baik secara individual maupun secara keluarga. Dan esensinya adalah bahwa anggota keluarga adalah arsitek bagi dirinya sendiri.
Pendekatan Eksistensial dalam Konseling Keluarga
Walter Kempler (1981) dalam bukunya experiental Psyhchotherapy mengemukakan pertama kali pendekatan Gestalts terhadap konseling keluarga. Ia sebagai konselor gestalt beranggapan bahwa, pendekatan ini amat dekat dengan pendekatan eksistensial fenomenologis. Dalam deskripsinya mengenai teori dan praktik psikoterapi pengalaman keluarga (family experiential psychotherapy), Kempler menekankan perhatiannya pada perjuangan (encounter) atau interaksi interpersonal dalam situasi terapeutik di sini dan sekarang (here and now). Selanjutnya konselor harus mengembangkan tujuan konseling dengan cara berpartisipasi penuh sebagai manusia (person).
Yang paling penting dalam fase awal konseling keluarga ialah mendorong semangat anggota keluarga untuk berani mengemukakan dunia pribadinya. Kelabunya kehidupan keluarga tidak lain adalah karena berkurangnya kemauan para  anggota untuk mengalami, merasakan pandangan dunia pribadi anggota keluarga yang lain. Yang satu merasa benar sendiri, dan berusaha menyalahkan orang lain sehingga masalah yang ada dalam keluarga itu dirasakan oleh anggota keluarga sebagai masalah yang tak dimengertinya dan kadang-kadang tak memperdulikannya. Akan tetapi menunjukkan suatu kemauan untuk melihat dunia orang lain melalui kacamata orang itu sendiri adalah cara konseling yang diinginkan dan arah ini yang perlu dicapai dengan situasi terapeutik dalam  konseling keluarga.
Konseling Keluarga Pendekatan Gestalt
Kempler (1982) mendefinisikan konseling keluarga dengan pendekatan Gestalt sebagai suatu model difokuskan pada saat sekarang ini (present moment) dan pada pengalaman keluarga yang dilakukannya di dalam sesi-sesi konseling.
Jadi pengertian experiential adalah bahwa sesi konseling yang sedang berlangsung digunakan sebagai laboratorium di mana kita memperoleh pengalaman pengalaman baru. Konseling itu lebih bersifat action counseling.
Yang lebih ditekankan lagi adalah keterlibatan konselor dalam keluarga. Kempler bahkan beranggapan bahwa konseling keluarga eksperiensial sebenarnya adalah  personal pribadi sebagai manusia bagi konselor itu, dan masalah teknik cenderung tak menjadi yang terpenting dalam sesi-sesi itu. Tidak ada alat atau skill, yang ada hanyala hubungan orang dengan orang, manusia dengan manusia. Karena itu yang penting bagi konselor adalah mendengarkan suara dan emosi  mereka. Konselor melakukan perjumpaan dalam konseling keluarga sebagai partisipan penuh, sebagai sahabat, sebagai orang yang dipercaya dalam perjumpaan antara sesama. Karena itu kadang-kadang Kempler senang dengan style directive dan confrontatitnya, sebab hubungan mereka akrab.
Pendekatan Konseling Keluarga Menurut Aliran Adler
Aliran Adler mempunyai sejarah yang panjang dalam pekerjaannya dengan keluarga dan studi tentang dinamika keluarga. Adler memperkenalkan kelompok-kelompok keluarga dan klinik bimbingan anak di Vienna.
(+) Tujuan konseling keluarga menurut aliran Adler
Tujuan dasar pendekatan ini adalah untuk mempermudah perbaikan hubungan anak-anak dan meningkatkan hubungan di dalam keluarga. Mengajarkan anggota keluarga bagaimana menyesuaikan diri yang lebih baik terhadap anggota keluarga yang lainnya dan bagaimana hidup bersama dalam keluaga sosial yang sederajat (sesama manusia) sebagai bagian dari tujuan ini.
Dinkmeyer et. al. (1979) menungkapkan bahwa tujuan  ini adalah menyempurnakan kehidupan dalam keluarga dengan cara sharing (berbagi) dengan sesama  anggota keluarga atas dasar prinsip demokrasis dalam menyelesaikan koflik, memperbaiki orientasi destruktif antara anggota keluarga menjadi komunikasi dua arah, dan yang penting lagi mengajar anggota keluarga agar mampu memberikan semangat dan dorongan untuk berkembang bagi anggota lain.
(+) Tanggung jawab anggota keluarga dalam proses konseling
Fungsi konselor dalam proses konseling keluarga adalah sebagai fasilitator bagi semua anggota yang mengunjungi sesi. Konselor berasumsi bahwa peranan membantu orang tua adalah berupa pemahaman  yang lebih baik terhadap faktor-faktor penyebab kesulitan keluarga dirumah, dan menyarankan cara-cara pemecahannya. Diharapkan bahwa anggota keluarga akhirnya akan mempelajari strategi-strategi bagi pemecahan konflik dan masalah dalam keluarga dengan cara yang saling menghormati.
(+) Teknik-teknik Konseling Keluarga
Banyak teknik yang digunakan yang dipelopori oleh aliran Adlerian ini, dan sebagai garis besarnya dikemukakan oleh Lowe (1982) sebagi berikut:
@ Interview awal
Tujuan interview adalah membantu mendiagnosis tujuan anak-anak, mengevaluasi metode orang tua dalam mendidik anak, memahami iklim dikeluarga, dan dapat membuat rekomendasi khusus bagi perubahan dalam situasi keluarga tersebut. Proses interview ini difokuskan pada usaha memberikan keberanian dan memperkuat semua anggota keluarga. Yang paling utama adalah pembentukan rapport yang memungkinkan usaha produktif tercapai.
@ Role playing (bermain peran)
Bermain peran dan metode-metode lain yang berorientasi kepada perbuatan yang tampak, sering merupakan bagian dari sesi-sesi konseling keluarga. Perbuatan yang tampak adalah hasil interaktif anggota di dalam keluarga.
@ Interpretasi (penafsiran)
Interpretasi merupakan bagian penting dalam konseling Adlerian yang dilanjutkan pada sesi-sesi seterusnya. Tujuannya adalah untuk menimbulkan insight (pemahaman bagi anggota keluarga, memberi pemahaman tentang apa yang telah dilakukannya), dan mendorong mereka untuk menterjemahkan apa yang mereka pelajari dan diterapkan bagi perilakunya sehari-hari. Seorang anggota keluarga memberikan tafsiran terhadap perilakunya terhadap anggota lain, atas usul konselor.
Pendekatan Trasactional Analysis (TA) Dalam Konseling Keluarga
Tujuan dasar dari konseling keluarga TA ialah bekerja dengan struktur kontrak yang dilakukan oleh setiap anggota keluarga terhadap konselor. Secara umum kontrak-kontrak ini mempunyai tujuan suatu struktur keluarga yang independen dan fungsional. Model kontraktual menempatkan tanggung jawab klien bagi menentukan tujuan seseorang dan bekerja mencapai tujuan.
(+) Tahapan-tahapan konseling
McClendon (1977) menerangkan tiga tahap dalam konseling keluarga menurut pendekatan transactional analysis.
@ Tahapan awal
Fokus konseling adalah pada dinamika keluarga sebagai suatu sistem. Konselor mendorong anggota-anggota keluarga untuk berbicara tentang apa sebabnya ia datang ke konselor dan apakah yang ingin ia cari. Teknik yang digunakan konselor adalah yang dapat mengembangkan kesadaran bagaimana keluarga berfungsi sebagai sistem, tentang masalah yang dihadapi keluarga, dan tentang kemungkinan perubahan.
@ Tahapan kedua
Terjadinya proses terapeutik dengan setiap anggota keluarga. Di sini terlihat dinamika individual dalam proses konseling. Konselor mulai inisiatif untuk menyeleksi anggota keluarga yang mempunyai kekuatan yang amat besar dalam keluarga. Misalnya fokus kita pada ibu, anak, atau ayah, maka hendaknya konselor mengamati terjadinya dinamika intrapiksi
@ Tahapan ketiga
Tujuan kita disini adalah mengadakan reintegrasi terhadap keseluruhan keluaga. Setelah bekerja dengan keluarga sebagai suatu sistem untuk mencerahkan hakikat transaksi antara anggota keluarga, maka konselor sekarang menuju kepada aspek-aspek seperti  keributan-keributan, perintah-perintah, keputusan-keputusan, dan sejarah hidup (life script) dari individu-individu anggota keluarga.

Aplikasi Konsep-konsep Psikoanalitik
Konsep psikoanalitik mengajarkan konselor untuk memahami tentang ketakberfungsian pola-pola keluarga yang telah menyebabkan isu-isu pribadi yang tak terpecahkan di antara ayah, ibu dan anak gadisnya. Di dalam konseling keluarga situasi yang tak menentu itu merupakan pola masa lalu yang terungkap dimasa sekarang di dalam keluarga. Tantangan terbesar dari konselor ialah untuk membantu anggota keluarga agar menyadari keadannya dan mengambil tanggung jawab dalam menanggulangi proyeksi masih saja berlarut-larut seandainya merek terus menerus berorientasi secara tak sadar kepada kehidupan masa lalunya. Pendekatan ini menunjukkan bahwa suatu kekuatan yang ditempuh untuk memecahkan masalah keluarga sebagai suatu sistem dengan tujuan mencapai perubahan struktur kepribadian kedua orang tua.
Konseling Keluarga Rational Emotive
Tujuan rational emotive theraphy dalam konseling keluarga pada dasarnya sama dengan yang berlaku dalam konseling individual atau kelompok. Anggota keluarga dibantu untuk melihat bahwa mereka bertanggungjawab dalam membuat gangguan bagi diri mereka sendiri melalui perilaku anggota lain secara serius.
Albert  Elis (1982) mengemukakan teknik-teknik yang bersifat kognitif, emotif, dan behavioral yang tepat untuk konseling keluarga.
  1. Teknik kognitif (the cognitive techniques)
  2. Teknik emotif (emotive techniques)
  3. Teknik behavioral (behavioral techniques)
Aplikasi Teori Behavioral dalam Konseling Keluarga
Konselor-konselor behavioral telah memperluas prinsip-prinsip teori belajar sosial (social-learning theory) terhadap konseling keluarga. Mereka mengemukakan bahwa prosedur-prosedur belajar yang telah digunakan untuk mengubah perilaku, dapat diaplikasikan untuk mengubah perilaku yang bermasalah di dalam suatu keluarga.
Dalam deskripsi ini ada tugas dan teknik-teknik yang menandai ciri utama dari aplikasi behavioral terhadap konseling keluarga. Liberman (1981) mengemukakan tiga bidang kepedulian teknis bagi konselor; 1) kreasi dari gabungan terapeutik yang positif, 2) membuat analisa fungsional terhadap masalah-masalah dalam keluarga dan 3) implementasi prinsip-prinsip behavioral yakni reinforcement dan modeling di dalam konteks interaksi dalam keluarga.
  1. Peranan gabungan terapeutik (role of therapeutic alience)
  2. Penilaian keluarga
  3. Melaksanakan strategi behavioral
Konsep-konsep Logotherapy dalam Konseling Keluarga
Konsep dasar logotherapy ditulis oleh Frakl pada tahun 1946 dalam bahasa Jerman, dan pada tahun 1959 dalam bahasa Inggris. Publikasi dan konsep-konsep logotherapy populer setelah keluar tulisan Frankl dalam bukunya “Mans’ Search for Meaning” pada tahun 1962. Logotherapy bertujuan agar klien yang  menghadapi masalah dapat menemukan makna dari penderitaannya dan juga makna mengenai kehidupan dan cinta.

Aplikasi Teori Motivasi Maslow dalam Model Pembelajaran Berbasis Psikologi


Bagi siswa yang selalu memperhatikan materi pelajaran yang diberikan, bukanlah masalah bagi guru. Karena di dalam diri siswa tersebut ada motivasi, yaitu motivasi intrinsik. Siswa yang demikian biasanya dengan kesadaran sendiri memperhatikan penjelasan guru. Rasa ingin tahunya lebih banyak terhadap materi pelajaran yang diberikan. Berbagai gangguan yang ada disekitarnya, kurang dapat mempengaruhinya agar memecahkan perhatiannya.
Lain halnya bagi siswa yang tidak ada motivasi di dalam dirinya, maka motivasi ekstrinsik yang merupakan dorongan dari luar dirinya mutlak diperlukan. Di sini tugas guru adalah membangkitkan motivasi peserta didik sehingga ia mau melakukan belajar.
Ada beberapa strategi yang bisa digunakan oleh guru untuk menumbuhkan motivasi belajar siswa, sebagai berikut:
Menjelaskan tujuan belajar ke peserta didik.
Pada permulaan belajar mengajar seharusnya terlebih dahulu seorang guru menjelaskan mengenai Tujuan Instruksional Khusus yang akan dicapainya kepada siwa. Makin jelas tujuan maka makin besar pula motivasi dalam belajar.
Hadiah
Berikan hadiah untuk siswa yang berprestasi. Hal ini akan memacu semangat mereka untuk bisa belajar lebih giat lagi. Di samping itu, siswa yang belum berprestasi akan termotivasi untuk bisa mengejar siswa yang berprestasi.
Saingan/kompetisi
Guru berusaha mengadakan persaingan di antara siswanya untuk meningkatkan prestasi belajarnya, berusaha memperbaiki hasil prestasi yang telah dicapai sebelumnya.
Pujian
Sudah sepantasnya siswa yang berprestasi untuk diberikan penghargaan atau pujian. Tentunya pujian yang bersifat membangun.
Hukuman
Hukuman diberikan kepada siswa yang berbuat kesalahan saat proses belajar mengajar. Hukuman ini diberikan dengan harapan agar siswa tersebut mau merubah diri dan berusaha memacu motivasi belajarnya.
Membangkitkan dorongan kepada anak didik untuk belajar
Strateginya adalah dengan memberikan perhatian maksimal ke peserta didik.
  • Membentuk kebiasaan belajar yang baik
  • Membantu kesulitan belajar anak didik secara individual maupun kelompok
  • Menggunakan metode yang bervariasi, dan
  • Menggunakan media yang baik dan sesuai dengan tujuan pembelajaran Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting yang harus diperhatikan oleh guru pada waktu ia mengajar anak-didiknya. Ia mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar tidak mungkin berkembang kalau kebutuhan dasar siswa belum terpenuhi.
Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran.
Siswa berperan sebagai pelaku utama (stundent center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri, mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.
Tujuan pembelajaran lebih kepada proses belajarnya daripada hasil belajar. Adapun proses yang umumnya dilalui adalah:
  • Merumuskan tujuan belajar yang jelas.
  • Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat: jelas, jujur dan positif.
  • Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif sendiri.
  • Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri.
  • Siswa didorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dari perilaku yang ditunjukkan.
  • Guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran siswa, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggung jawab atas segala resiko perbuatan atau proses belajarnya.
  • Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya
  • Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi siswa