Tidak ada yang aneh, jika Indonesia sering dicitrakan negatif di mata internasional. Status negara terkorup di dunia merupakan fakta yang paling aktual. Demikian juga dalam hal penanggulangan bahaya rokok pun, citra Indonesia juga setali tiga uang. Permasalahan tembakau di Indonesia begitu rumit dan kompleks, tetapi Pemerintah Indonesia nyaris tidak mempunyai kepedulian untuk menanggulanginya.
Bahkan, saat ini Pemerintah Indonesia dalam posisi ‘terkucil’ bahkan menjadi ‘tersangka tunggal’ oleh komunitas internasional, karena Pemerintah Indonesia tidak menandatangani dan meratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control), atau Kerangka Kerja Penanggulangan Masalah Tembakau. Mengapa Pemerintah Indonesia terkucil dan menjadi tersangka tunggal? Sebab, selain terlibat aktif dalam pembahasan, sebagai drafting commeete, juga hadir dalam World Health Assembly di Geneva, pada 31 Mei 2003. Atas ketidakpeduliannya itu, maka oleh komunitas internasional Pemerintah Indonesia diberikan hadiah bernama : Ashtray Award (Asbak Rokok Award!).
Kalangan civeil society (LSM) sebenarnya sudah tidak kurang-kurangya untuk meminta Pemerintah agar menandatangani FCTC, sejak zaman Presiden Megawati sampai dengan Presiden SBY. Bahkan, selain berkirim surat, Jaringan Masyarakat Sipil Melawan Bahaya Tembakau pun pernah melakukan demonstrasi di depan istana (03/06/06), yang intinya meminta Pemerintah agar segera meratifikasi FCTC. YLKI dkk pun sudah mengadukan Pemerintah RI ke Komnas HAM (2005), yang intinya, YLKI mengkualifisir bahwa tidak meratifikasi FCTC berarti melanggar HAM. Namun, apa daya, Pemerintah hingga kini tetap tidak bergeming dengan sikapnya itu, sekalipun kini FCTC sudah menjadi hukum internasional karena 147 negara telah meratifikasi FCTC, dari syarat hanya minimal 40 negara!
Seputar FCTC
Tidak terlalu banyak pihak yang sudah mengetahui FCTC, minimal pernah mendengarnya. Bahkan mungkin mayoritas masyarakat Indonesia (termasuk Pemerintah dan DPR-nya) belum mengerti, apa dan mengapa tentang FCTC?
FCTC adalah sebuah instrumen hukum, berfungsi untuk mendukung negara-negara anggota WHO dalam mengembangkan program pengendalian tembakau di tingkat nasional. FCTC adalah suatu produk hukum internasional pertama yang digagas oleh WHO, dengan melibatkan seluruh negara anggota WHO pada saat pembuatannya.FCTC bertujuan untuk melindungi generasi sekarang dan masa depan dari dampak merusak tembakau terhadap kesehatan, sosial, lingkungan dan ekonomi, oleh akibat penggunaan tembakau dan paparan terhadap asap tembakau. FCTC akan mengikat secara hukum (legal binding), jika sudah diratifikasi oleh minimal 40 negara. Per Agustus 2005, FCTC sudah menjadi hukum internasional, bahkan sejak 10 Juli 2006, tercatat sudah 133 negara meratifikasi FCTC.
Ada enam isu utama yang diatur oleh FCTC, yaitu : pengendalian harga dan pajak, iklan, sponsorship dan promosi, pemberian label: peringatan kesehatan dan istilah yang menyesatkan, pengaturan udara bersih, bebas asap rokok, pengungkapan dan pengaturan isi rokok, dan perdagangan ilegal.
Masalah pengendalian harga, misalnya, menjadi sangat penting untuk Indonesia, mengapa? Karena, harga dan cukai rokok di Indonesia rendah. Akibatnya, anak-anak bisa membeli rokok, juga masyarakat miskin. Apalagi rokok di Indonesia (khususnya kretek) bisa dibeli secara ketengan (per batang). FCTC merekomendasikan agar harga dan cukai menjadi instrumen untuk membatasi dan mengatur penggunaan rokok, dengan cara dinaikkan cukainya. Cukai rokok di Indonesia rata-rata hanya sekitar 30% dari total harga. Bandingkan dengan negara lain, seperti Thailand, cukai rokoknya saat ini mencapai 75 dari harga. Dri berbagai studi yang ada, di banyak negara; menaikkan harga dan cukai rokok tidak akan mematikan industri rokok, bahkan income negara akan meningkat tajam. Industri rokok juga tetap sehat walafiat.
FCTC juga mewajibkan produsen rokok mengungkapkan kandungan produk rokoknya, terutama kandungan tar, nikotin, dan karbon monoksida; yang merupakan racun utama yang terkandung dalam asap rokok. Dalam konteks regulasi di Indonesia, ketentuan ini bukan hal yang baru. Karena, UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999, juga mewajibkan bahwa setiap produk yang dikonsumsi konsumen, harus menyebutkan isi dan dampak bagi konsumen.
Lebih dari itu, FCTC juga concern dengan paparan asap tembakau oleh perokok pasif. FCTC merekomendasikan untuk dibuat kawasan tanpa rokok (KTR). Jadi, KTR secara ideal hanya menginginkan, agar orang yang tidak merokok tidak terpapar asap rokok. Dan orang yang merokok (perokok aktif), tidak merokok seenaknya di tempat-tempat umum.
Semangat FCTC dengan instrumen KTR, sesungguhnya sangat sejalan dengan semangat konstitusi kita (UUD ’45). Undang-Undang Dasar ’45 secara tegas mengamanatkan, bahwa setiap orang berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan (vide Pasal 28H, ayat 1, UUD ‘45). Selain itu, setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Pasal 28J, ayat 1, UUD ’45). Jadi, secara tidak langsung, ketika Pemerintah tidak meratifikasi FCTC, sama artinya Pemerintah melakukan pelanggaran HAM, karena Pemerintah melakukan “pembiaran” (crime by ommision) terhadap pelanggaran hak-hak masyarakat (perokok pasif) untuk mendapatkan udara yang sehat dan bersih. Perokok aktif, dengan merokok seenaknya, berarti telah mengurangi hak publik, karena mencemari udara dengan asap rokoknya.
Sebenarnya, secara substansi, tidak perlu ada yang ditakuti dengan FCTC. Ketentuan-ketentuan yang diatur FCTC sangat lunak. Tingkat “kelunakan” FCTC bisa dilihat pada ketentuan pasalnya yang mayoritas menggunakan kata shall (sebaiknya)—bukan must (yang berarti harus). Juga ketentuan-ketentuan yang berbunyi recognize (memahami), in accordance with its national law (sesuai dg perundang-undangan nasional), dan taking into account national circumstances and priorities or national capabilities (memerhatikan keadaan dan prioritas nasional). Bahkan, gradasi substansi FCTC hanya satu tingkat lebih tinggi dibanding Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2003 tentang Penanggulangan Masalah Merokok bagi Kesehatan.
Respons Komunitas Internasional?
Respons komunitas internasional terhadap FCTC sangat fantastik. Bayangkan, saat ini sudah 133 negara meratifikasi FCTC, dari 168 yang menandatanganinya. Jadi, hanya tersisa 35 negara yang belum meratifikasi FCTC. Di dunia ini, hanya ada tiga negara yang berpenghasilan tembakau terbesar tetapi tidak menandatangani dan meratifikasi FCTC, yaitu : Indonesia, Rusia, dan Zimbabwe (lihat tabel 1 dan 2).
Tabel 1. Negara Berpenghasil Tembakau Terbesar di Dunia yang
Menandatangani dan Meratifkasi FCTC
No. | Negara | Ton dan persen | Tanda-tangan | Ratifikasi |
1 | China | 2.409.215 (38%) | 10 Nop 2003 | 11 Okt 2005 |
2 | Brasilia | 654.250 (10,3%) | 16 Juni 2003 | 03 Nop 2005 |
3 | India | 575.000 (9,1%) | 10 Sept 2003 | 05 Feb 2004 |
4 | Amerika Serikat | 401.890 (6,3%) | 10 Mei 2004 | - |
5 | Zimbabwe | 172.947 (2,7%) | - | - |
6 | Turki | 145.000 (2,3%) | 28 April 2004 | 31 Des 2004 |
7 | Indonesia | 144.700 (2,3) | - | - |
8 | Yunani | 135.000 (2,1%) | 16 Juni 2003 | 27 Jan 2006 |
9 | Italia | 130.400 (2,1%) | 16 Juni 2003 | - |
10 | Pakistan | 85.100 (1,3) | 18 Mei 2004 | 03 Nop 2004 |
Diolah dari berbagai sumber
Tabel 2. Negara Konsumen Rokok Terbesar yang
Menandatangani dan Meratifikasi FCTC
No. | Negara | Milyar Batang | Tanda-tangan | Ratifikasi |
1 | China | 1.697,291 | 10 Nop 2003 | 11 Okt 2005 |
2 | Amerika Serikat | 463,504 | 10 Mei 2004 | - |
3 | Rusia | 375,000 | - | - |
4 | Jepang | 299,085 | 09 Mar 2004 | 08 Juni 2004 |
5 | Indonesia | 181,958 | - | - |
6 | Jerman | 148,400 | 24 Okt 2003 | 16 Des 2004 |
7 | Turki | 116,000 | 28 April 2004 | 31 Des 2004 |
8 | Brasilia | 108,200 | 16 Juni 2003 | 03 Nop 2005 |
9 | Italia | 102,357 | 16 Juni 2003 | - |
10 | Spanyol | 94,309 | 16 Juni 2003 | 11 Jan 2005 |
Diolah dari berbagai sumber
Di tingkat ASEAN juga sama, dari 11 negara anggota ASEAN, semua negara telah menandatangani FCTC, kecuali Pemerintah Indonesia. Laos sudah menandatangani, tetapi sampai saat ini belum meratifikasinya. Timor Leste pun, dan juga Myanmar, sudah meratifikasi FCTC (lihat tabel 3).
Tabel 3. Negara-negara ASEAN yang Menandatangani dan Meratifkasi FCTC
No. | Negara | Tanda-tangan | Ratifikasi |
1 | Brunei Darussalam | 03 Juni 2004 | 03 Juni 2004 |
2 | Kamboja | 25 Mei 2004 | 15 Nop 2005 |
3 | Malaysia | 23 Sept 2003 | 16 Sept 2005 |
4 | Myanmar | 23 Okt 2003 | 21 April 2004 |
5 | Philipina | 23 Sept 2003 | 06 Juni 2005 |
6 | Singapura | 29 Des 2003 | 14 Mei 2004 |
7 | Thailand | 20 Juni 2003 | 08 Nop 2004 |
8 | Timor Leste | 25 Mei 2004 | 22 Des 2004 |
9 | Vietnam | 03 Sept 2003 | 17 Des 2004 |
10 | Laos | 29 Juni 2004 | 06 Sept 2006 |
11 | Indonesia | Tidak tanda-tangan | belum ratifikasi |
Dari berbagai sumber
Mengapa Phobi FCTC?
Lalu, mengapa industri rokok di Indonesia, atau bahkan Pemerintah phobia dengan FCTC? Tidak ada jawaban akurat untuk mengetahui alasan ini. Namun, jika ditelisik secara mendalam, baik oleh industri rokok dan kemudian ‘diamini’ oleh Pemerintah, FCTC selalu dicitrakan (dimitoskan) akan mematikan dan merontokkan industri rokok nasional. Alasan seperti ini sejatinya sangat tidak realistik, bahkan terlalu dipolitisir. Jika memang FCTC akan menghabisi industri rokok, mengapa negara-negara yang notabene lebih “jago” di bidang rokok dan tembakau ketimbang Indonesia, seperti Jepang, China, Brasil dan India; berani menandatangani dan meratifikasi FCTC? Toh industri rokok di negara-negara tersebut saat ini tidak mengalami collaps seperti yang ditakutkan oleh industri rokok di Indonesia.
Sesungguhnya, jika Pemerintah tetap dalam posisi “mendiamkan” FCTC, justru Pemerintah dirugikan. Alasannya, secara politis akan makin terkucilkan, potensi untuk mendapatkan global fund dari FCTC menjadi hilang, bahkan ancaman dihentikannya dana bantuan untuk sektor kesehatan, khususnya untuk penyakit “ATM” (AIDS, Malaria, TBC).
Sebaliknya, akan lebih cantik dan elegan jika Pemerintah Indonesia mengakomodasikan dirinya dalam percaturan FCTC. Sebab, dengan FCTC berarti Pemerintah mempunyai suatu instrumen yang sangat komprehensif untuk mengatur permasalahan tembakau di dalam negeri. Pemerintah Indonesia tidak perlu capek-capek untuk membuat instrumen baru, karena FCTC dengan segala instrumen yang dimilikinya akan “membimbing” (dalam arti positif) negara yang telah mengakomodasikan dirinya dalam FCTC.
FCTC sama sekali tidak akan menghilangkan ‘identitas nasional’ Indonesia sebagai pemilik tunggal rokok kretek. Justru, dengan tidak akomodatifnya Pemerintah Indonesia terhadap FCTC identitas nasional yang bernama rokok kretek itu akan terancam sirna, secara perlahan tetapi pasti. Jelasnya, boleh saja fisik perusahaan rokok kretek itu masih ‘berdiri kokoh’ di Indonesia, tetapi apa lacur jika perusahaan rokok kretek itu sesungguhnya bulan lagi milik ‘kebanggaan’ Indonesia. Contoh konkritnya, PT HM Sampoerna dengan brand termasyhurnya Djie Sam Soe. Masih banggakah kita mengepulkan asap rokok Djie Sam Soe dari mulut kita, sementara Djie Sam Soe bukan lagi milik rakyat Indonesia, tetapi milik rakyat Amerika? Sungguh ironis, orang-orang miskin penikmati Djie Sam Soe itu kini justru mensubsidi negara super kaya seperti Amerika?
Kenapa fenomena ini menjadi perhatian? Bahwa Philip Morris ‘berani’ mengakuisisi PT HM Sampoerna karena mereka tahu persis bahwa regulasi masalah tembakau di Indonesia sangat lemah. Mereka tahu persis bahwa Pemerintah Indonesia (dan juga mungkin masyarakatnya) ‘alergi’ dengan FCTC. Harap dicatat, semula Philip Morris Internasional akan mengakuisisi beberapa perusahaan rokok besar di India dan China, tetapi diurungkan. Apa sebab? Karena kedua negara itu telah mengakomodasi FCTC (meratifikasinya). FCTC tidak membolehkan perusahaan rokok multinasional membeli (mengakuisisi) perusahaan rokok nasional.
Pasca Philip Morris, pasti berbagai perusahaan rokok multinasional akan segera merapat ke Indonesia, dan ‘memboyong’ aset nasional (baca: perusahaan rokok kretek) ke negara masing-masing. Fisiknya boleh berada di Indonesia, tetapi sesungguhnya kita tidak mempunyai hak apapun terhadap perusahaan yang telah dibeli (sahamnya) oleh negara superkaya: Amerika, Jepang ..dst.
Jika kita sadar, dan memahaminya secara utuh, FCTC sebenarnya justru bisa menjadi “juru selamat” bagi industri tembakau di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Tanpa mengakomodasi FCTC pun, sesungguhnya Indonesia tidak bisa bergerak dengan leluasa lagi, karena akan terkepung oleh komunitas yang mengakomodasi FCTC. Tanpa FCTC, si ayam emas bernama industri rokok kretek pun terancam hengkang dari kandangnya. Idealnya, kalangan DPR berperan proaktif terhadap FCTC, bukan malah ‘menakut-nakuti’ Pemerintah untuk mengakomodasi FCTC!
ada website menarik Bu, bisa buat komparasi:
BalasHapushttp://www.komunitaskretek.or.id/beranda