STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) DANPENINGKATAN PELAYANAN PUBLIK DI ERA OTONOMI DAERAH
Minimum Service Standard and Public Service Increase in Local Autonomy Era
Oleh: Kushandajani
ABSTRAK
Fungsi utama pemerintah daerah adalah penyediaan pelayanan publik bagi masyarakat daerah bersangkutan. Oleh sebab itu optimalisasi pelayanan publik yang efisien dan efektif menjadi perhatian utama pemerintah daerah agar dapat menyajikan pelayanan publik yang prima bagi masyarakat. Standar Pelayanan Minimal (SPM) merupakan salah satu cara yang ditempuh untuk mendorong pemerintah daerah melakukan pelayanan publik yang tepat bagi masyarakat, dan sekaligus mendorong masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap kinerja pemerintah di bidang pelayanan publik
.
ABSTRACT
The ultimate function of local government is to prepare public service for the local society. Therefore, optimalization of public service efficiency and effectiveness should be the focus of local government in order to present excellent public service. The Minimum Service Standar is a benchmark (understood as a minimum level of performance or national target level) for encouraging the local government in delivering its service to the local society, as well as in encouraging the society to pay control to the performance of the local government in terms of its public service delivery.
Key words:performance, minimum service standar, public service
A. Pendahuluan
“Tanggal 2 Januari 2004 hingga 31 Maret 2004 oleh Pemerintah Kota Semarang dicanangkan sebagai bulan
pelayanan publik. Pelaksanaan bulan pelayanan publik tersebut sebagai permulaan pemberlakuan standar pelayanan minimal (SPM) untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Ada empat macam pelayanan yang diutamakan dalam bulan pelayanan publik nantinya, yaitu : menyangkut pengurusan ijin mendirikan bangunan (IMB), ijin gangguan (HO), kartu tanda penduduk (KTP), dan pengurusan kelaikan
kendaraan (kir)” (Kompas, 2 Desember 2003)
Ilustrasi tersebut menunjukkan bahwa Daerah Kabupaten/Kota di Jawa Tengah sudah mulai menerapkan SPM dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Mengapa SPM ? SPM dianggap sebagai tindakan yang logis
bagi Pemerintah Daerah karena beberapa alasan. Pertama, didasarkan kemampuan daerahnya masing-masing, maka sulit bagi Pemerintah Daerah untuk melaksanakan semua kewenangan/fungsi yang ada. Keterbatasan dana, sumberdaya aparatur, kelengkapan, dan faktor lainnya membuat Pemerintah Daerah harus mampu menentukan jenis-jenis pelayanan yang minimal harus disediakan bagi masyarakat. Kedua, dengan munculnya SPM memungkinkan bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan kegiatannya secara “lebih terukur”.
Ketiga, dengan SPM yang disertai tolok ukur pencapaian kinerja yang logis dan riil akan memudahkan bagi masyarakat untuk memantau kinerja aparatnya, sebagai salah satu unsur terciptanya penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik merupakan issue yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini. Tuntutan kuat yang dilakukan oleh masyarakat kepada pemerintah untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah sejalan dengan meningkatnya tingkat pengetahuan masyarakat, disamping adanya pengaruh globalisasi.
Selain itu pola-pola lama penyelenggaraan pemerintahan dianggap tidak sesuai lagi bagi tatanan masyarakat yang telah berubah, dimana di masa lalu negara ataupun pemerintah sangat dominan, menjadikan masyarakat menjadi pihak yang sangat diabaikan dalam setiap proses pembangunan. Oleh karena itu
tuntutan itu merupakan hal yang wajar dan seharusnya direspon oleh pemerintah dengan melakukan perubahan-perubahan yang terarah pada terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
Di Indonesia, dengan keluarnya UU No. 22 Tahun 1999 dalam derajat tertentu memberi harapan baru terhadap perkembangan desentralisasi, paling tidak akan meningkatkan akuntabilitas para pejabat Daerah pada publiknya. (James Alm and Roy Bahl, 1999: 5) Adalah suatu hal yang tidak dapat dipungkiri lagi bahwa telah terjadi tuntutan pergeseran tugas-tugas pemerintah.
Sejalan dengan desentralisasi maka tugas-tugas pemerintah kini lebih memungkinkan dilaksanakan oleh daerah, dengan asumsi bahwa peningkatan kesejahteraan rakyat akan lebih cepat diwujudkan mengingat lebih dekatnya pemerintah daerah kepada masyarakat.
Perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintahan daerah, dari sentralistisasi ke desentralisasi, dari terpusatnya kekuasaan pada pemerintah daerah (eksekutif) ke power sharing antara eksekutif dan legislatif daerah, harus disikapi dengan mengubah manajemen pemerintahan daerah. Dari sisi
manajemen publik, juga terjadi perubahan nilai yang semula menganut proses manajemen yang berorientasi kepada kepentingan internal organisasi pemerintahan ke kepentingan eksternal disertai dengan peningkatan pelayanan dan pendelegasian sebagian tugas pelayanan publik dari pemerintah ke
masyarakat ataupun pasar. Demikian juga sebagai konsekwensi reformasi, manajemen publik juga harus beralih orientasi dari orientasi lama yang menekankan pada proses “tindakan administrasi” yang meliputi kegiatan:
perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), penempatan pegawai (staffing), pengarahan (directing), pengawasan (controlling), pengaturan (regulating), dan penganggaran (budgeting) ke orientasi baru yang menekankan pada proses “pembuatan kebijakan dan tindakan pelaksanaan” yang meliputi kegiatan: analisis kebijakan (policy analysis), manajemen keuangan (financial management), manajemen sumberdaya manusia (human resources management), manajemen informasi (information management), dan hubungan
keluar (external relation). Semua perubahan di atas harus diantisipasi oleh semua pelaksana pemerintahan, terutama kepala daerah.
Dengan adanya orientasi baru dalam manajemen publik tersebut, maka pemerintah daerah tidak saja dituntut akuntabilitasnya ke dalam tetapi justru ke luar (masyarakat). Melalui akuntabilitas publik, pemerintah akan dipantau dan dievaluasi kinerjanya oleh masyarakat. Pemantauan dan evaluasi terhadap kinerja pemerintah daerah akan lebih mudah jika pemerintah daerah sudah membuat indikator dan target-target yang disusun dalam Standar Pelayanan Minimal (SPM). SPM yang telah tersusun akan menjadi pedoman bagi kedua belah pihak, pemerintah daerah maupun masyarakat. Bagi pemerintah daerah SPM dijadikan pedoman dalam melakukan pelayanan publik, sedangkan bagi masyarakat SPM merupakan pedoman untuk memantau dan mengukur kinerja pemerintah daerah.
ABSTRACT
The ultimate function of local government is to prepare public service for the local society. Therefore, optimalization of public service efficiency and effectiveness should be the focus of local government in order to present excellent public service. The Minimum Service Standar is a benchmark (understood as a minimum level of performance or national target level) for encouraging the local government in delivering its service to the local society, as well as in encouraging the society to pay control to the performance of the local government in terms of its public service delivery.
Key words:performance, minimum service standar, public service
A. Pendahuluan
“Tanggal 2 Januari 2004 hingga 31 Maret 2004 oleh Pemerintah Kota Semarang dicanangkan sebagai bulan
pelayanan publik. Pelaksanaan bulan pelayanan publik tersebut sebagai permulaan pemberlakuan standar pelayanan minimal (SPM) untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Ada empat macam pelayanan yang diutamakan dalam bulan pelayanan publik nantinya, yaitu : menyangkut pengurusan ijin mendirikan bangunan (IMB), ijin gangguan (HO), kartu tanda penduduk (KTP), dan pengurusan kelaikan
kendaraan (kir)” (Kompas, 2 Desember 2003)
Ilustrasi tersebut menunjukkan bahwa Daerah Kabupaten/Kota di Jawa Tengah sudah mulai menerapkan SPM dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Mengapa SPM ? SPM dianggap sebagai tindakan yang logis
bagi Pemerintah Daerah karena beberapa alasan. Pertama, didasarkan kemampuan daerahnya masing-masing, maka sulit bagi Pemerintah Daerah untuk melaksanakan semua kewenangan/fungsi yang ada. Keterbatasan dana, sumberdaya aparatur, kelengkapan, dan faktor lainnya membuat Pemerintah Daerah harus mampu menentukan jenis-jenis pelayanan yang minimal harus disediakan bagi masyarakat. Kedua, dengan munculnya SPM memungkinkan bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan kegiatannya secara “lebih terukur”.
Ketiga, dengan SPM yang disertai tolok ukur pencapaian kinerja yang logis dan riil akan memudahkan bagi masyarakat untuk memantau kinerja aparatnya, sebagai salah satu unsur terciptanya penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik merupakan issue yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini. Tuntutan kuat yang dilakukan oleh masyarakat kepada pemerintah untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah sejalan dengan meningkatnya tingkat pengetahuan masyarakat, disamping adanya pengaruh globalisasi.
Selain itu pola-pola lama penyelenggaraan pemerintahan dianggap tidak sesuai lagi bagi tatanan masyarakat yang telah berubah, dimana di masa lalu negara ataupun pemerintah sangat dominan, menjadikan masyarakat menjadi pihak yang sangat diabaikan dalam setiap proses pembangunan. Oleh karena itu
tuntutan itu merupakan hal yang wajar dan seharusnya direspon oleh pemerintah dengan melakukan perubahan-perubahan yang terarah pada terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
Di Indonesia, dengan keluarnya UU No. 22 Tahun 1999 dalam derajat tertentu memberi harapan baru terhadap perkembangan desentralisasi, paling tidak akan meningkatkan akuntabilitas para pejabat Daerah pada publiknya. (James Alm and Roy Bahl, 1999: 5) Adalah suatu hal yang tidak dapat dipungkiri lagi bahwa telah terjadi tuntutan pergeseran tugas-tugas pemerintah.
Sejalan dengan desentralisasi maka tugas-tugas pemerintah kini lebih memungkinkan dilaksanakan oleh daerah, dengan asumsi bahwa peningkatan kesejahteraan rakyat akan lebih cepat diwujudkan mengingat lebih dekatnya pemerintah daerah kepada masyarakat.
Perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintahan daerah, dari sentralistisasi ke desentralisasi, dari terpusatnya kekuasaan pada pemerintah daerah (eksekutif) ke power sharing antara eksekutif dan legislatif daerah, harus disikapi dengan mengubah manajemen pemerintahan daerah. Dari sisi
manajemen publik, juga terjadi perubahan nilai yang semula menganut proses manajemen yang berorientasi kepada kepentingan internal organisasi pemerintahan ke kepentingan eksternal disertai dengan peningkatan pelayanan dan pendelegasian sebagian tugas pelayanan publik dari pemerintah ke
masyarakat ataupun pasar. Demikian juga sebagai konsekwensi reformasi, manajemen publik juga harus beralih orientasi dari orientasi lama yang menekankan pada proses “tindakan administrasi” yang meliputi kegiatan:
perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), penempatan pegawai (staffing), pengarahan (directing), pengawasan (controlling), pengaturan (regulating), dan penganggaran (budgeting) ke orientasi baru yang menekankan pada proses “pembuatan kebijakan dan tindakan pelaksanaan” yang meliputi kegiatan: analisis kebijakan (policy analysis), manajemen keuangan (financial management), manajemen sumberdaya manusia (human resources management), manajemen informasi (information management), dan hubungan
keluar (external relation). Semua perubahan di atas harus diantisipasi oleh semua pelaksana pemerintahan, terutama kepala daerah.
Dengan adanya orientasi baru dalam manajemen publik tersebut, maka pemerintah daerah tidak saja dituntut akuntabilitasnya ke dalam tetapi justru ke luar (masyarakat). Melalui akuntabilitas publik, pemerintah akan dipantau dan dievaluasi kinerjanya oleh masyarakat. Pemantauan dan evaluasi terhadap kinerja pemerintah daerah akan lebih mudah jika pemerintah daerah sudah membuat indikator dan target-target yang disusun dalam Standar Pelayanan Minimal (SPM). SPM yang telah tersusun akan menjadi pedoman bagi kedua belah pihak, pemerintah daerah maupun masyarakat. Bagi pemerintah daerah SPM dijadikan pedoman dalam melakukan pelayanan publik, sedangkan bagi masyarakat SPM merupakan pedoman untuk memantau dan mengukur kinerja pemerintah daerah.
B. Pembahasan
1. Fungsi-fungsi Pemerintahan Daerah
Secara umum fungsi-fungsi pemerintahan (daerah) dapat digolongkan dalam 4 pengelompokkan yaitu : penyediaan pelayanan, pengaturan, pembangunan, dan perwakilan. Fungsi penyediaan pelayanan-pelayanan
berorientasi pada lingkungan dan kemasyarakatan. Pelayanan lingkungan mencakup antara lain jalan-jalan daerah, penerangan jalan, pembuangan sampah, saluran air limbah, pencegahan banjir, pemeliharaan taman dan tempat rekreasi. Selain itu pelayanan medik dan kesehatan juga merupakan pelayanan minimal disamping sarana dan pendidikan. Di Malaysia pendidikan bagi masyarakat umum sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah pusat. Adapun di Indonesia, pendidikan masih menjadi hal yang dianggap mahal, karena pembiayaan pendidikan sebagian besar masih ditanggung oleh masyarakat.
kekuasaannya untuk mengatur kegiatan-kegiatan khusus seperti tata gunaFungsi pengaturan menyangkut perumusan dan menegakkan (enforce) peraturan-peraturan. Sementara pertahanan dan angkatan bersenjata selalu menjadi tanggungjawab Pemerintah Pusat, penyelenggaraan ketertiban umum seringkali dilimpahkan kepada daerah. Di Inggris, angkatan kepolisian dikelola oleh pejabat-pejabat kepolisian yang diangkat dan dibiayai oleh dewan-dewan pemerintah daerah, meskipun pengendalian operasionalnya menjadi tanggungjawab kepala kepolisian. Paling umum bagi pemerintah daerah adalah tanah, standar bangunan, dan hiburan.
Fungsi pembangunan melibatkan secara langsung pemerintah daerah dalam bentuk-bentuk kegiatan ekonomi, seperti industri, perkebunan, kehutanan, maupun perdagangan. Di sebagian negara Asia Tenggara pemerintah daerah ditujukan untuk memainkan suatu peranan pembangunan dengan penekanan utama pada bidang pertanian.
Fungsi perwakilan, berhubungan dengan menyatakan pendapat daerah atas hal-hal di luar bidang tanggungjawab eksekutif. Fungsi ini penting dalam menentukan bobot dan pengaruh pemerintahan daerah, tetapi peranan keuangannya yang langsung kecil.
Melihat keempat fungsi pemerintahan daerah tersebut, maka fungsi pelayanan publik merupakan inti dari penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Keberadaan Pemerintah Daerah bisa teruji baik jika sudah menyelenggarakan pelayanan publik secara optimal.
2. Penyusunan SPM Kabupaten/Kota
Penyelenggaraan pelayanan publik bergandeng erat dengan kewenangan/urusan/fungsi yang dijalankan oleh daerah. Kemampuan daerah (propinsi, kabupaten/kota) dalam mengidentifikasi kewenangan/fungsi daerah
akan sangat mempengaruhi kemampuan mereka menyusun Standar Pelayanan Minimal (SPM) sesuai bidang-bidang kewenangan pemerintahan yang diselenggarakan.
Dengan mempertimbangkan keberadaan berbagai tingkatan pemerintahan di Indonesia, maka pihak yang sangat mendesak membutuhkan SPM adalah pihak pemerintah kabupaten/kota. Hal ini didasarkan pada
beberapa pertimbangan. Pertama, UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah menempatkan otonomi daerah secara utuh pada daerah kabupaten/kota. Konsekwensinya, daerah kabupaten/kota mempunyai
kewenangan dan keleluasaan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakatnya. Kedua, dibandingkan posisi propinsi maupun pusat, maka posisi kabupaten/kota paling dekat dengan masyarakat. Sehingga tuntutan pelayanan publik akan lebih diarahkan pada
pemerintah kabupaten/kota. Ketiga, dengan tuntutan masayarakat yang bisa langsung disampaikan, maka pemerintah daerah kabupaten/kota dituntut pula untuk menyediakan berbagai jenis pelayanan bagi masyarakat daerahnya masing-masing.
Dalam rangka menyusun Standar Pelayanan Minimal (SPM), paling tidak dibutuhkan beberapa tahapan, yang terurai dalam bagan alir seperti berikut.
Identifikasi kewenangan daerah merupakan kegiatan pemerintah daerah, sebagai konsekwensi dilimpahkannya 11 (sebelas) kewenangan wajib dari Pusat kepada kabupaten/kota sebagaimana diamanatkan dalam pasal 11 ayat (2) UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Daerah Kabupaten/Kota harus mengidentifikasi kewenangan/fungsi mereka sendiri, dan sekaligus melakukan negosiasi dengan pihak Propinsi untuk menentukan fungsi-fungsi mana yang lebih tepat dilaksanakan oleh Propinsi dan mana yang
kemungkinan terjadi tumpang tindih dengan pihak propinsi. Hasil akhir berupa daftar kewenangan/fungsi yang cakupannya lengkap.
Hasil lengkap tersebut dikomunikasikan dengan stakeholders daerah kabupaten/kota bersangkutan, disertai dengan pengukuran terhadap kemampuan daerah (kemampuan sumberdaya aparatur, kemampuan ekonomi
daerah, kemampuan teknologi, dsb.) dalam menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan yang ada. Berdasarkan pertimbangan yang matang tersebut akan muncul short list kewenangan/fungsi daerah kabupaten/kota bersangkutan, yang benar-benar bisa dilaksanakan.
Short-list kewenangan/fungsi tersebut secara logis tentu tidak bisa diselenggarakan secara menyeluruh pada waktu bersamaan. Oleh sebab itu, didasarkan pada kriteria seperti: pengukuran kebutuhan masyarakat akan
pelayanan-pelayanan mendasar , terukur, terus menerus, dan berorientasi pada output yang dirasakan masyarakat, serta mungkin untuk dikerjakan, maka Kebutuhan Masy akan jenis-jenis Pelayanan tertentu SPM + Indikator Pencapaian Kinerja Identifikasi Kew. Daerah Melihat Kemampuan Daerah (SDM, Tekno, Perlengkapan, dsb)
Tolokukur tersebut bisa memuat indikator-indikator seperti:
1. input
(masukan)Bagaimana tingkatan atau besaran sumber-sumber yang digunakan,seperti sumberdaya manusia, dana, material, waktu, teknologi, dansebagainya.
2. output (keluaran)
Bagaimana bentuk produk yang dihasilkan langsung oleh kebijakan atau program berdasarkan masukan (input) yang digariskan.
3. outcome (hasil)
Bagaimana tingkat pencapaian kinerja yang diharapkan terwujud berdasarkan keluaran (output) kebijakan atau program yang sudah dilaksanakan.
4. benefit (manfaat)
Bagaimana tingkat kemanfaatan yang dapat dirasakan sebagai nilai tambah bagi masyarakat maupun pemerintah daerah
5. impact (dampak)
Bagaimana dampaknya terhadap kondisi makro yang ingin dicapai berdasarkan manfaat yang dihasilkan
2. output (keluaran)
Bagaimana bentuk produk yang dihasilkan langsung oleh kebijakan atau program berdasarkan masukan (input) yang digariskan.
3. outcome (hasil)
Bagaimana tingkat pencapaian kinerja yang diharapkan terwujud berdasarkan keluaran (output) kebijakan atau program yang sudah dilaksanakan.
4. benefit (manfaat)
Bagaimana tingkat kemanfaatan yang dapat dirasakan sebagai nilai tambah bagi masyarakat maupun pemerintah daerah
5. impact (dampak)
Bagaimana dampaknya terhadap kondisi makro yang ingin dicapai berdasarkan manfaat yang dihasilkan
Tolok ukur pencapaian kinerja sangat penting untuk disertakan, agar masing-masing unit organisasi pelaksana dari kewenangan/fungsi dalam bidang tertentu dapat mengukur dirinya sendiri apakah sudah berhasil melaksanakan tugasnya atau belum. Di sisi lain, dengan ukuran kinerja yang jelas, publik atau
masyarakat juga bisa memantau kinerja unit organisasi tersebut. Karena dengan transparansi pengukuran juga menggambarkan akuntabilitas unit organisasi tersebut pada publik.
Bentuk akuntabilitas dalam aspek pelayanan publik harus memuat beberapa hal seperti: Adanya rumusan standar kualitas yang jelas dan disosialisasikan kepadamasyarakat Adanya sistem penanganan keluhan yang responsif Adanya ganti rugi yang diberikan kepada klien atau pengguna jasa apabila mereka tidak puas dengan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah
Adanya lembaga banding apabila terjadi konflik antara klien dengan aparat pelaksana pelayanan publik
Dengan menerapkan sistem akuntabilitas di dalam pelayanan publik, maka sekali lagi pemerintah daerah akan ditempatkan pada posisi yang setiap saat dapat dievaluasi kinerjanya, dikoreksi dan disempurnakan, dan dipertanggungjawabkan tidak saja ke dalam organisasi pemerintah daerah tetapi juga ke publik.
3. Pelimpahan Fungsi Pelayanan Pada Kecamatan dan Kelurahan
Kebijakan baru tentang otonomi daerah di Indonesia (dengan lahirnya UU No.22 dan 25 Tahun 1999) memberikan implikasi sangat luas terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. Implikasi tersebut tidak saja menyentuh pada besarnya kewenangan daerah, tetapi juga pada kelembagaan dan kepegawaian daerah. Jika kewenangan yang dilaksanakan Daerah berubah (meluas) maka kelembagaan Daerah juga berubah untuk mewadahi kewenangan yang ada. Organisasi harus didesain sedemikian rupa
agar kewenangan-kewenangan yang luas tersebut dapat dilaksanakan secara maksimal. Selanjutnya formasi pegawai juga berubah sesuai dengan tuntutan organisasi ataupun kelembagaan yang dibentuk. Perubahan yang cukup mendasar terjadi pula pada konstruksi dan bentuk susunan daerah. Jika pada saat berlakunya UU No. 5 Tahun 1974, daerah otonom (sebagai konsekwensi diberlakukannya desentralisasi) keberadaannya berimpit dengan wilayah administrasi (sebagai konsekwensi penerapan dekonsentrasi), sehingga penyebutannya menjadi: Propinsi Daerah Tingkat I dan Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II. Maka dengan berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 terjadi perubahan yang mendasar, dimana hanya Propinsi saja yang melaksanakan dua bentuk kewenangan yaitu desentralisasi dan dekonsentrasi, sedangkan Daerah Kabupaten/Kota semata-mata menjalankan kewenangan desentralisasi saja. Implikasi lebih lanjut dengan diterapkannya UU No. 22/1999 sebagaimana tertuang dalam pasal 129 adalah dihapuskannya lembaga Pembantu Bupati; kemudian Camat tidak lagi merupakan Kepala Wilayah namun sebagai Perangkat Daerah (Pasal 66).
Kecamatan menurut UU No. 22 tahun 1999 merupakan perangkat daerah Kabupaten/Kota yang dipimpin oleh Kepala Kecamatan dengan sebutan Camat. Camat diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Sekretaris daerah Kabupaten/Kota dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat. Camat menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota. Camat bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota. (Pasal 66) Dihapusnya Pembantu Bupati dan terjadinya perubahan status Camat
dan Kecamatan menunjukkan bahwa implikasi pelaksanaan UU No. 22/1999 akan berdampak cukup luas terhadap peran dan fungsi Kecamatan. Dari gambaran tersebut nampak bahwa dalam rangka menunjang pelaksanaan UU No. 22/1999 perlu ada rekonstruksi mekanisme penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Hal ini tidak terlepas dari posisi Camat yang semestinya sangat strategis karena menerima pelimpahan sebagian kewenangan dari Bupati/Walikota. Diharapkan sebagian dari kewenangan yang dipandang
relevan dan tepat bagi tuntutan pelayanan masyarakat akan diserahkan kepada
Camat, dan seterusnya sebagian kewenangan Camat juga diserahkan kepada Kelurahan.
Adapun Kelurahan menurut UU No. 22/1999 adalah perangkat Kecamatan yang dipimpin oleh Kepala Kelurahan, yang disebut Lurah. Lurah diangkat dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat oleh Walikota/Bupati atas usul Camat. Lurah menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Camat. Lurah bertanggungjawab pada Camat. (Pasal 67) Adanya perubahan peran menurut UU No. 22/1999 dimana Camat dan Kelurahan diletakkan pada posisi strategis bahkan sebagai ujung tombak
pelayanan terhadap masyarakat, maka penting kiranya melakukan identifikasi fungsi-fungsi pemerintahan yang sebaiknya dilaksanakan di Kelurahan.
Berkaitan dengan pelaksanaan SPM, alangkah baiknya Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (dalam hal ini Bupati/Walikota) juga melakukan identifikasi kewenangan/fungsi yang sebaiknya diserahkan pada Camat dan
Lurah untuk melaksanakan sebagian kewenangan/fungsi yang ada di SPM.
Pada dasarnya kecamatan maupun kelurahan merupakan tingkatan wilayah yang memiliki posisi yang sangat dekat dengan masyarakat. Oleh sebab itu bentuk maupun macam kewenangan/fungsi yang diserahkan pada camat dan lurah seyogyanya bersifat praktis, sederhana, dan menyentuh kehidupan riil masyarakat.
Kelurahan akan memiliki manfaat yang besar seperti:
1. penyelenggaraan pelayanan terhadap masyarakat semakin dekat dengan sasaran;
2. dengan pelayanan yang langsung kepada masyarakat, maka semakin kecil rantai birokrasi yang harus ditempuh oleh masyarakat dalam rangka memperoleh pelayanan dari Pemerintah Daerah;
3. dengan rantai birokrasi yang semakin pendek, juga memungkinkan Pemerintah Daerah untuk melakukan efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pelayanannya.
C. Penutup
Ada beberapa hal yang bisa disimpulkan dalam tulisan ini. Pertama, SPM merupakan standar minimum pelayanan publik yang harus disediaan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat. Dengan adanya SPM maka akan terjamin kualitas minimum dari suatu pelayanan publik yang dapat dinikmati oleh masyarakat, dan sekaligus akan terjadi pemerataan pelayanan publik dan menghindari kesenjangan pelayanan antar daerah. Kedua, SPM sangat mendesak untuk disusun, khususnya bagi kabupaten/kota yang memang secara
langsung merupakan penyedia pelayanan publik. Ketiga, posisi propinsi yang dalam pelaksanaan kewenangan daerah lebih banyak bertindak sebagai “pendukung, fasilitator, ataupun koordinator ” bagi pelaksanaan kewenanganlintas kabupaten/kota, maka sebaiknya dalam penyusunan SPM juga tidak
melepaskan diri dari posisi dan peran tersebut, sehingga lebih mendorong daerah kabupaten/kota untuk lebih berinisiatif melaksanakan kewenangan daerah. Keempat kemampuan seorang pemimpin daerah dalam
mendelegasikan wewenang ke unit-unit organisasi juga menentukan keberhasilan daerah dalam melaksanakan SPM.
Akhir kata, semoga penyusunan SPM di masa mendatang akan lebih meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, sehingga pemerintah daerah akan lebih akuntabel di mata masyarakat daerahnya masing-masing.
Daftar Bacaan
Alm, James and Roy Bahl. 1999. “Decentralization in Indonesia: Prospects and Problems”. USAID.
Bahl, Roy. 1999. Implementation Rules for Fiscal Decentralization. Atlanta: George State University.
Billah, MM. 1996. “Good Governance dan Kontrol Sosial”, dalam Prisma No. 8. Jakarta: LP3ES.
Cheema, G. Shabbir and Dennis A. Rondinelli, ed. 1983. Decentralization and Development. California. SAGE Publications.
Corbett, D. 1996. Australian Public Sector Management, 2nd Edition. New South Wales. Allen & Umvin.
GTZ. 2004. Pegangan Memahami Desentralisasi: Beberapa Pengertian tentang
Desentralisasi. Yogyakarta: Pembaruan.
Hanaoka, Keiso (ed.). 1984. Comparative Study on The Local Public
Administration in Asian and Pasific Countries, Tokyo, Eropa Locall
Government Center.
Haris, Syamsuddin. 2001. Paradigma Baru Otonomi Daerah. Jakarta: P2P-LIPI.
Helmi Fuady, Ahmad, dkk. 2002. Memahami Anggaran Publik. Yogyakarta:
IDEA Press
Kaloh, j. 2002. Mencari Bentuk Otonomi Daerah: Suatu Solusi dalam Menjawab
Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global. Jakarta: Rineke Cipta.
Litvack, Jennie, etc. 1998. Rethinking Decentralization in Developing Countries.
The World Bank. Washington D.C
Mardiasmo, 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta:
ANDI
Mawhood, Philip, ed. 1983. Local Government in The Third World. New York:
John Wiley & Sons.
Mishra, Satish Chandra. 1999. “Government and Governance: Understanding
The Political Economy of The Reform of Institutions”. Paper presented to
the LPEM/USAID Conference “ The Economic Issues Facing The New
Government”. Jakarta. August 18.
Shah, Anwar. 1997. Balance, Accountability, and Responsiveness: Lesson
about Decentralization. The World Bank.
Syaukani, H, Afan Gaffar dan Ryaas Rasyid. 2003. Otonomi Daerah dalam
Negara Kesatuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan PUSKAP.
Yuwono, Teguh (ed.). 2001. Manajemen Otonomi Daerah: Membangun Daerah
Berdasar Paradigma Baru. Semarang: CLOGAPPS Diponegoro
University.
masyarakat juga bisa memantau kinerja unit organisasi tersebut. Karena dengan transparansi pengukuran juga menggambarkan akuntabilitas unit organisasi tersebut pada publik.
Bentuk akuntabilitas dalam aspek pelayanan publik harus memuat beberapa hal seperti: Adanya rumusan standar kualitas yang jelas dan disosialisasikan kepadamasyarakat Adanya sistem penanganan keluhan yang responsif Adanya ganti rugi yang diberikan kepada klien atau pengguna jasa apabila mereka tidak puas dengan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah
Adanya lembaga banding apabila terjadi konflik antara klien dengan aparat pelaksana pelayanan publik
Dengan menerapkan sistem akuntabilitas di dalam pelayanan publik, maka sekali lagi pemerintah daerah akan ditempatkan pada posisi yang setiap saat dapat dievaluasi kinerjanya, dikoreksi dan disempurnakan, dan dipertanggungjawabkan tidak saja ke dalam organisasi pemerintah daerah tetapi juga ke publik.
3. Pelimpahan Fungsi Pelayanan Pada Kecamatan dan Kelurahan
Kebijakan baru tentang otonomi daerah di Indonesia (dengan lahirnya UU No.22 dan 25 Tahun 1999) memberikan implikasi sangat luas terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. Implikasi tersebut tidak saja menyentuh pada besarnya kewenangan daerah, tetapi juga pada kelembagaan dan kepegawaian daerah. Jika kewenangan yang dilaksanakan Daerah berubah (meluas) maka kelembagaan Daerah juga berubah untuk mewadahi kewenangan yang ada. Organisasi harus didesain sedemikian rupa
agar kewenangan-kewenangan yang luas tersebut dapat dilaksanakan secara maksimal. Selanjutnya formasi pegawai juga berubah sesuai dengan tuntutan organisasi ataupun kelembagaan yang dibentuk. Perubahan yang cukup mendasar terjadi pula pada konstruksi dan bentuk susunan daerah. Jika pada saat berlakunya UU No. 5 Tahun 1974, daerah otonom (sebagai konsekwensi diberlakukannya desentralisasi) keberadaannya berimpit dengan wilayah administrasi (sebagai konsekwensi penerapan dekonsentrasi), sehingga penyebutannya menjadi: Propinsi Daerah Tingkat I dan Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II. Maka dengan berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 terjadi perubahan yang mendasar, dimana hanya Propinsi saja yang melaksanakan dua bentuk kewenangan yaitu desentralisasi dan dekonsentrasi, sedangkan Daerah Kabupaten/Kota semata-mata menjalankan kewenangan desentralisasi saja. Implikasi lebih lanjut dengan diterapkannya UU No. 22/1999 sebagaimana tertuang dalam pasal 129 adalah dihapuskannya lembaga Pembantu Bupati; kemudian Camat tidak lagi merupakan Kepala Wilayah namun sebagai Perangkat Daerah (Pasal 66).
Kecamatan menurut UU No. 22 tahun 1999 merupakan perangkat daerah Kabupaten/Kota yang dipimpin oleh Kepala Kecamatan dengan sebutan Camat. Camat diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Sekretaris daerah Kabupaten/Kota dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat. Camat menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota. Camat bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota. (Pasal 66) Dihapusnya Pembantu Bupati dan terjadinya perubahan status Camat
dan Kecamatan menunjukkan bahwa implikasi pelaksanaan UU No. 22/1999 akan berdampak cukup luas terhadap peran dan fungsi Kecamatan. Dari gambaran tersebut nampak bahwa dalam rangka menunjang pelaksanaan UU No. 22/1999 perlu ada rekonstruksi mekanisme penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Hal ini tidak terlepas dari posisi Camat yang semestinya sangat strategis karena menerima pelimpahan sebagian kewenangan dari Bupati/Walikota. Diharapkan sebagian dari kewenangan yang dipandang
relevan dan tepat bagi tuntutan pelayanan masyarakat akan diserahkan kepada
Camat, dan seterusnya sebagian kewenangan Camat juga diserahkan kepada Kelurahan.
Adapun Kelurahan menurut UU No. 22/1999 adalah perangkat Kecamatan yang dipimpin oleh Kepala Kelurahan, yang disebut Lurah. Lurah diangkat dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat oleh Walikota/Bupati atas usul Camat. Lurah menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Camat. Lurah bertanggungjawab pada Camat. (Pasal 67) Adanya perubahan peran menurut UU No. 22/1999 dimana Camat dan Kelurahan diletakkan pada posisi strategis bahkan sebagai ujung tombak
pelayanan terhadap masyarakat, maka penting kiranya melakukan identifikasi fungsi-fungsi pemerintahan yang sebaiknya dilaksanakan di Kelurahan.
Berkaitan dengan pelaksanaan SPM, alangkah baiknya Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (dalam hal ini Bupati/Walikota) juga melakukan identifikasi kewenangan/fungsi yang sebaiknya diserahkan pada Camat dan
Lurah untuk melaksanakan sebagian kewenangan/fungsi yang ada di SPM.
Pada dasarnya kecamatan maupun kelurahan merupakan tingkatan wilayah yang memiliki posisi yang sangat dekat dengan masyarakat. Oleh sebab itu bentuk maupun macam kewenangan/fungsi yang diserahkan pada camat dan lurah seyogyanya bersifat praktis, sederhana, dan menyentuh kehidupan riil masyarakat.
Kelurahan akan memiliki manfaat yang besar seperti:
1. penyelenggaraan pelayanan terhadap masyarakat semakin dekat dengan sasaran;
2. dengan pelayanan yang langsung kepada masyarakat, maka semakin kecil rantai birokrasi yang harus ditempuh oleh masyarakat dalam rangka memperoleh pelayanan dari Pemerintah Daerah;
3. dengan rantai birokrasi yang semakin pendek, juga memungkinkan Pemerintah Daerah untuk melakukan efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pelayanannya.
C. Penutup
Ada beberapa hal yang bisa disimpulkan dalam tulisan ini. Pertama, SPM merupakan standar minimum pelayanan publik yang harus disediaan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat. Dengan adanya SPM maka akan terjamin kualitas minimum dari suatu pelayanan publik yang dapat dinikmati oleh masyarakat, dan sekaligus akan terjadi pemerataan pelayanan publik dan menghindari kesenjangan pelayanan antar daerah. Kedua, SPM sangat mendesak untuk disusun, khususnya bagi kabupaten/kota yang memang secara
langsung merupakan penyedia pelayanan publik. Ketiga, posisi propinsi yang dalam pelaksanaan kewenangan daerah lebih banyak bertindak sebagai “pendukung, fasilitator, ataupun koordinator ” bagi pelaksanaan kewenanganlintas kabupaten/kota, maka sebaiknya dalam penyusunan SPM juga tidak
melepaskan diri dari posisi dan peran tersebut, sehingga lebih mendorong daerah kabupaten/kota untuk lebih berinisiatif melaksanakan kewenangan daerah. Keempat kemampuan seorang pemimpin daerah dalam
mendelegasikan wewenang ke unit-unit organisasi juga menentukan keberhasilan daerah dalam melaksanakan SPM.
Akhir kata, semoga penyusunan SPM di masa mendatang akan lebih meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, sehingga pemerintah daerah akan lebih akuntabel di mata masyarakat daerahnya masing-masing.
Daftar Bacaan
Alm, James and Roy Bahl. 1999. “Decentralization in Indonesia: Prospects and Problems”. USAID.
Bahl, Roy. 1999. Implementation Rules for Fiscal Decentralization. Atlanta: George State University.
Billah, MM. 1996. “Good Governance dan Kontrol Sosial”, dalam Prisma No. 8. Jakarta: LP3ES.
Cheema, G. Shabbir and Dennis A. Rondinelli, ed. 1983. Decentralization and Development. California. SAGE Publications.
Corbett, D. 1996. Australian Public Sector Management, 2nd Edition. New South Wales. Allen & Umvin.
GTZ. 2004. Pegangan Memahami Desentralisasi: Beberapa Pengertian tentang
Desentralisasi. Yogyakarta: Pembaruan.
Hanaoka, Keiso (ed.). 1984. Comparative Study on The Local Public
Administration in Asian and Pasific Countries, Tokyo, Eropa Locall
Government Center.
Haris, Syamsuddin. 2001. Paradigma Baru Otonomi Daerah. Jakarta: P2P-LIPI.
Helmi Fuady, Ahmad, dkk. 2002. Memahami Anggaran Publik. Yogyakarta:
IDEA Press
Kaloh, j. 2002. Mencari Bentuk Otonomi Daerah: Suatu Solusi dalam Menjawab
Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global. Jakarta: Rineke Cipta.
Litvack, Jennie, etc. 1998. Rethinking Decentralization in Developing Countries.
The World Bank. Washington D.C
Mardiasmo, 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta:
ANDI
Mawhood, Philip, ed. 1983. Local Government in The Third World. New York:
John Wiley & Sons.
Mishra, Satish Chandra. 1999. “Government and Governance: Understanding
The Political Economy of The Reform of Institutions”. Paper presented to
the LPEM/USAID Conference “ The Economic Issues Facing The New
Government”. Jakarta. August 18.
Shah, Anwar. 1997. Balance, Accountability, and Responsiveness: Lesson
about Decentralization. The World Bank.
Syaukani, H, Afan Gaffar dan Ryaas Rasyid. 2003. Otonomi Daerah dalam
Negara Kesatuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan PUSKAP.
Yuwono, Teguh (ed.). 2001. Manajemen Otonomi Daerah: Membangun Daerah
Berdasar Paradigma Baru. Semarang: CLOGAPPS Diponegoro
University.