Minggu, 27 Februari 2011

Teori-Teori Belajar

Teori-teori dalam belajar adalah :
Connectionism (koneksionisme)
Teori connectionism (koneksionisme) adalah teori yang ditemukan dan dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874-1949) berdasarkan eksperimen yang ia lakukan pada tahun 1980-an. Eksperimen Thorndike in digunakan hewan-hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar. Berdasarkan eksperimen yang dilakukan Thorndike berkesimpulan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan respon. Itulah sebabnya teori koneksionisme disebut “S-R Bond Theory” dan “SR Psychology of Learning” selain itu, teori itu dikenal dengan sebutan “Trial and Error Learning”. Istilah itu menunjukkan panjangnya waktu dan banyak jumlah kekeliruan dalam mencapai suatu tujuan (Hillgard dan Bower, 1975)
Classical Conditioning (Pembiasaan Klasik)
Teori pembiasaan klasik berkembang berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Paulov (1849-1936), seorang ilmuwan besar Rusia yang berhasil menggondol hadiah nobel (1909). Pada dasarnya classical conditioning adalah sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadi refleks tersebut (Terrace, 1973).
Dalam eksperimennya, Pavlov menggunakan anjing untuk mengetahui hubungan-hubungan antar conditional stimulus (CS), unconditioned stimulus (UCS). Conditioned response (CR), dan unconditioned response (UCR). CS adalah rangsangan yang mampu mendatangkan respon yang dipelajari, sedangkan respon yang dipelajari itu sendiri disebut CR. Adapun UCS berarti rangsangan yang menimbulkan respon yang tidak dipelajari dan respon yang tidak dipelajari itu disebut UCR.
Dari hasil eksperimen yang dilakukan, bahwa belajar adalah perubahan yang ditandai dengan adanya hubungan antara stimulus dan respons. Apabila stimulus yang diadakan (CS) selalu disertai dengan stimulus penguat (UCS). Stimulus tadi (CS) cepat atau lambat akhirnya akan menimbulkan respon atau perubahan yang kita hendaki yang dalam hal ini CR.
Operant Conditioning (pembiasaan perilaku respon)
Teori ini dikembangkan oleh Burrhus Frederic Skinner. Operant conditioning adalah sejumlah perilaku atau respons yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan yang dekat (Reber, 1980). Respon dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respon tertentu namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya.
Dalam eksperimennya, skinner menggunakan seekor tikus yang ditempatkan dalam sebuah peti yang kemudian terkenal dengan nama “Skinner Box”. Peti sangkar ini terdiri atas dua macam komponen pokok, yakni : manipulandum dan alat pemberi reinforcement yang antara lain komponen yang dapat dimanipulasi dan gerakannya berhubungan dengan reinforcement. Komponen ini terdiri atas tombol, batang jeruji, dan pengungkit (Reber, 1988).
Contiguous conditioning (pembiasaan asusiasi dekat)
Teori contiguous conditioning adalah sebuah teori belajar yang mengasumsikan terjadinya peristiwa belajar berdasarkan kedekatan hubungan antara stimulus dengan respon yang relevan.
Teori ini ditemukan oleh Edwin R. Guthrie. Menurut teori ini apa yang sesungguhnya dipelajari orang, misalnya seorang siswa, adalah reaksi atau respons terakhir yang muncul atas sebuah rangsangan atau stimulus. Artinya, untuk selamanya atau sama sekali tidak terjadi (Reber, 1989 : 153). Dalam pandangan penemu teori ini peningkatan berangsur-angsur kinerja hasil belajar yang lazim dicapai seorang siswa bukanlah hasil dari respons kompleks terhadap stimulus-stimulus melainkan karena dekatnya asosiasi antara stimulus dengan respon yang diperlukan.
Cognitive theory (teori kognitif)
Teori psikologi kognitif adalah bagian terpenting dari sains kognitif yang telah memberi kontribusi yang sangat berarti dalam perkembangan psikologi belajar. Pendekatan psikologi kognitif lebih menekankan arti penting proses internal, mental manusia, dalam pandangan para ahli kognitif, tingkah laku manusia yang tampak tidak dapat diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses mental seperti motivasi, kesengajaan, keyakinan, dan sebagainya.
Pakar psikologi kognitif, Piaget, menyimpulkan :
Children have a built in desire to learn (Barlow, 1985) artinya bahwa semenjak lahirnya setiap anak manusia memiliki kebutuhan yang melekat dalam dirinya sendiri untuk belajar.
Social Learning theory (teori belajar sosial)
Tokoh utama teori ini adalah Albert Bandura. Bandura memandang tingkahlaku manusia bukan semata-mata refleks otomatis atas stimulus, melainkan reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif manusia itu sendiri.
Prinsip dasar belajar hasil temuan Bandura termasuk belajar sosial dan moral. Menurut Barlow (1985), sebagian besar dari yang dipelajari manusia terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Dalam hal ini seorang siswa belajar mengubah perilakunya sendiri melalui penyaksian siswa belajar mengubah perilakunya sendiri melalui penyaksian orang lain atau sekelompok orang mereaksi atau merespon sebuah stimulus tertentu. Siswa ini juga dapat mempelajari respons-respons baru dengan cara pengamatan terhadap perilaku contoh dari orang lain, misalnya guru  atau oran tuanya.
Pendekatan teori belajar sosial terhadap proses perkembangan sosial dan moral siswa ditekankan pada perlunya conditioning (pembiasaan, merespon) dan imitation (peniruan).
~~ Belajar sebagai Proses ~~
Kognitif
Ada dua kecakapan kognitif siswa yang amat perlu dikembangkan  khususnya guru yakni :
a)      Strategi belajar memahami isi materi pelajaran
b)     Strategi meyakini arti penting isi materi pelajaran dan aplikasinya seta menyerap pesan-pesan moral yang terkandung dalam materi pelajaran tersebut
Strategi adalah sebuah istilah populer dalam psikologi kognitif, yang berarti prosedur mental yang berbentuk tatanan tahapan yang memerlukan alokasi berupa  upaya yang bersifat kognitif dan selalu dipengaruhi oleh pilihan kognitif atau pilihan kebiasaan belajar siswa. Pilihan kebiasaan belajar ini secara global terdiri atas :
a)      Menghafal prinsip-prinsip yang terkandung dalam materi
b)     Mengaplikasikan prinsip-prinsip materi
Preferensi kognitif yang pertama, timbul karena dorongan luar (motif ekstrinsik) yang mengakibatkan siswa menganggap belajar hanya sebagai alat pencegah ketidaklulusan atau ketidaknaikan. Menurut Dark and Clarke (1990), aspirasi yang dimilikinya bukan ingin menguasai materi secara mendalam, melainkan sekedar asal usul atau naik kelas semata.
Preferensi kognitif yang kedua, timbul karena dorongan dari dalam diri siswa sendiri (motif intrinsik), dalam arti siswa menang tertarik dan membutuhkan materi-materi pelajaran yang disajikan gurunya. Siswa ini lebih memusatkan perhatiannya untuk benar-benar memahami dan memikirkan cara menerapkannya (Geed, and Brophy, 1990). Untuk mencapai aspirasinya, ia memotivasi diri sendiri agar mengaplikasikannya dalam arti menghubungkannya dengan materi-materi lain yang relevan.
Afektif
Keberhasilan pengembangan ranah kognitif hanya akan membuahkan kecakapan kognitif, tetapi juga menghasilkan kecakapan ranah afektif. Sebagai contoh, seorang guru agama  yang piawi dalam mengembangkan kecakapan kognitif dengan cara seperti yang penyusun uraiakan diatas, akan berdampak positif terhadap ranah afektif para siswa. Dalam hal ini, pemahaman yang mendalam terhadap arti penting materi pelajaran agama yang disajikan guru serta preferensi kognitif ini, antara lain berupa kesadaran beragama yang mantap.
Dampak positif lainnya ialah dimilikinya sikap mental keagamaan yang lebih tegas dan lugas sesuai dengan tuntutan ajaran agama yang ia pahami dan yakini secara mendalam. Sebagai contoh, apabila seorang  siswa diajak kawannya untuk berbuat tidak senonoh seperti, melakukan seks bebas, meminum keras dan Pil Setan, ia akan serta merta menolak dan bahkan berusaha mencegah perbuatan asusila itu dengan segenap daya dan upayanya.
Psikomotorik
Keberhasilan pengembangan ranah kognitif, juga akan berdampak positif terhadap pengembangan ranah psikomotorik. Kecakapan psikomotorik adlaha segala amal jasmaniah yang konkret dan mudah diamati, baik kuantitasnya maupun kualitasnya, karena sifatnya yang ter buka. Namun disamping kecakapan psikomotorik itu tidak terlepas dari kecakapan kognitif dan layak terikat oleh kecakapan afektif. Jadi, kecakapan psikomotorik siswa merupakan manifestasi wawasan pengetahuan dan kesadaran serta sikap mentalnya.
Sebagai contoh para siswa yang berprestasi baik dalam bidang pelajaran agama misalnya sudah tentu akan rajin beribadah, shalat dan mengaji. Dia juga tidak akan segan-segan memberi pertolongan dan bantuan kepada orang yang melakukan. Sebab ia merasa memberi bantuan itu adalah kebajikan (afektif), sedangkan perasaan yang berkaitan dengan kebajikan tersebut dari pemahaman yang mendalam terhadap materi pelajaran agama yang ia terima dari gurunya (kognitif).
Kesimpulannya bahwa upaya guru dalam mengembangkan keterampilan ranah kognitif para siswanya merupakan hal yang sangat penting jika guru tersebut menginginkan siswanya aktif mengembangkan sendiri keterampilan ranah-ranah psikologi lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar